KITAB THAHARAH (Terjemah Taqriratus Sadidah)

KITAB THAHARAH (Terjemah Taqriratus Sadidah)

Definisi Thaharah

Secara bahasa thaharah (bersuci) mempunyai arti bersih dan terbebas dari kotoran yang nampak oleh indra (hissiy), seperti suci dari hadats dan najis. Dan bersih dari kotoran-kotoran yang abstrak (ma'nawiy) seperti suci dari penyakit-penyakit hati semisal ujub bangga (diri), sombong, dengki dan riya.

Sedangkan secara syara” ! thaharah adalah menghilangkan hadats dan najis, atau yang semakna dengan menghilangkan hadats dan najis atau perbuatan yang bentuknya sejenis dengan bentuknya menghilangkan hadats dan najis. Definisi ini adalah definisi yang disampaikan imam an-Nawawi. (Catatan kaki footnone 1)

Penjelasan Definisi:

1. Menghilangkan hadats seperti wudlu dan mandi besar.

2. Menghilangkan najis seperti istinja" (cebok) dengan air dan mencuci pakaian yang terkena najis.

3. Yang semakna dengan menghilangkan hadats, seperti tayyamum dan bersucinya orang yang selalu mengeluarkan hadats, semisal orang beser. Disebut semakna dengan menghilangkan hadats karena pada hakikatnya hadats orang-orang ini tidaklah hilang, namun ia diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang diperbolehkan bagi orang yang tidak memiliki hadats.

4. Yang semakna dengan menghilangkan najis adalah seperti istinja' dengan batu. Disebut semakna dengan menghilangkan najis, karena dengan istinja' ini, sisa-sisa najis masih ada meskipun sudah dianggap cukup.

5. Perbuatan yang bentuknya sama dengan bentuk perbuatan yang menghilangkan hadats seperti mandi sunnah, wudlu yang diperbarui (al-wudlu al-mujaddad) sebelum batal, basuhan kedua dan ketiga saat membasuh tangan dan lainnya, kedua basuhan ini disebut seperti di atas karena keduanya tidak menghilangkan hadats, namun bentuknya sama dengan bentuk basuhan pertama yang menghilangkan hadats.

6. Perbuatan yang bentuknya sama dengan bentuk perbuatan yang menghilangkan najis. Seperti basuhan kedua dan ketiga saat menghilangkan najis yang dilakukan setelah hilangnya najis. Kedua basuhan ini hanya bentuknya saja yang sama dengan basuhan sebelumnya yang telah menghilangkan najis.

Bentuk Thaharah Ada Empat

1. Wudlu:

2.Mandi:

3. Tayyamum,

4. Menghilangkan najis.

Alat-alat yang digunakan bersuci ada empat

1. Air mutlak yang suci mensucikan,

2.Tanah suci dan mensucikan serta mengandung debu (ghubar).

3.Alat penyamak kulit. Dengan ketentuan rasanya pedas dan bisa menghilangkan sisa-sisa darah, daging dan perkara yang bisa membuat kulit membusuk.

4.Sejenisnya batu saat istinja', yaitu barang-barang yang bisa menghilangkan najis (agak kasar), padat (tidak cair), suci dan tidak dimuliakan secara syariat.

Perantaranya Perantara (Wasa'il al-Wasa'il)

Perantaranya perantara (wasa'il al-wasa'il), yaitu perangkat yang menghasilkan empat alat di atas ada. Pertama, ijtihad. Ke dua, beberapa wadah (awani). Sebagian ulama berkata tentang hal ini:

Perantara bersuci adalah debu, begitu pula alat peyamakan, batu istinja' dan air.”

“sedangkan perantaranya perantara adalah wadah (awani), dan ijtihad, maka tetapilah yang kedua”

BAB MENJELASKAN AIR

Definisi Air

Air adalah cairan jernih dan lembut yang berwarna sesuai dengan tempatnya, dan Allah swt menciptakan rasa segar saat meneguknya.

Pembagian Air Ditinjau Dari Sumber dan Tempatnya

Ditinjau dari sumber dan tempatnya, air terbagi menjadi tujuh. Tiga berasal dari langit, yaitu air hujan, salju dan embun (Catatan kaki). Dan empat berasal dari tanah, yaitu air laut, sumur, sungai dan sumber.

Tingkatan Keutamaan Air

Tingkatan keutamaan air yang dinadzomkan sebagian ulama adalah sebagai berikut:

Air yang paling utama adalah air yang keluar dari jemari Nabi.”

“Disusul air Zamzam, lalu air bengawan Kautsar,

kemudian air sungai Nil Mesir dan selanjutnya bengawan-bengawan yang lain.”

Pembagian Air Ditinjau Dari Hukumnya

Pertama, air suci dan mensucikan.

Air ini disebut dengan air Thahur dan Mutlag. Yang dimaksud mutlag adalah air yang tidak disertai dengan nama sama sekali menurut pakar urf (tradisi) dan pakar lisan (bahasa) yang telah mengetahui keadaan air tersebut, sehingga cukup menyebutnya dengan air saja tanpa disertai nama lain. Begitu pula air yang disertai nama yang tidak mengikat, akan tetapi nama tersebut akan hilang dengan berpindahnya air dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti air sumur dan air laut. Maka hukum air ini sah untuk digunakan bersuci.

Berbeda dengan air yang memiliki nama yang mengikat, seperti air mawar, kopi dan anggur, maka tidak dapat disebut air mutlak dan tidak sah digunakan bersuci.

Air Mutlak Ditinjau Dari Hukum Makruh Menggunakannya

Air mutlak ditinjau dari hukum makruh dan tidaknya dalam penggunaannya terbagi menjadi dua:

1. Tidak makruh menggunakannya.

2. Makruh digunakan. Dan yang kedua ini terbagi menjadi empat:

  • Air musyammas (air yang dipanaskan dengan Matahari). Dihukumi makruh karena khawatir menyebabkan penyakit belang (barash),
  • Air yang terlalu panas, karena dapat mencegah untuk menyempurnakan bersuci sebab terlalu panas.
  • Air yang terlalu dingin, sebagaimana alasan air yang terlalu panas.
  • Air dari hasil ghasab. (Sebagian ulama menambah air yang makruh digunakan. Yaitu, air yang diam (tidak mengalir) dan air sisa yang digunakan perempuan).

Beberapa Syarat Kemakruhan Air Musyammas

Air musyammas hukumnya makruh digunakan jika memenuhi Sembilan syarat. Jika salah satu saja tidak terpenuhi hukum kemakruhannya menjadi hilang. Sembilan syarat ini terkumpul dalam ungkapan nadzam sebagian ulama:

Sesungguhnya ulama menghukumi makruh air musyammas ketika masih panas bagi orang hidup, dengan hukum yang telah ditetapkan.”

“Jika air tersebut berada di wadah yang terbuat dari logam selain emas dan perak, dan digunakan di musim panas tidak di waktu dingin.” 

Digunakan di badan, dan di daerah panas, masih ada air lain dan tidak khawatir terjadi bahaya.”

1. Panas air disebabkan terik Matahari.

2. Digunakan saat masih panas.

3. Digunakan oleh orang hidup. (Tidak makruh menggunakan air musyammas untuk orang meninggal menurut Ibnu Hajar. Menurut beliau tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang meninggal, yaitu hukumnya sama makruh.)

4. Air berada di wadah yang terbuat dari logam, seperti besi, tembaga, timah dan lainnya, kecuali emas dan perak. (Hal ini dikarenakan bersihnya bahan emas dan perak, sehingga tidak akan menimbulkan karat pada air.)

5. Digunakan di musim panas.

6. Digunakan di badan, bukan yang lain seperti baju.

7. Digunakan di daerah yang panas" seperti Hijaz dan Hadlramaut. (Karena sorot sinar Matahari pada daerah selainnya lemah, yang tidak akan berdampak menimbulkan penyakit yang dikhawatirkan.)

8. Masih bisa menggunakan air yang lain.

9. Tidak ada dugaan kuat akan terjadi bahaya. Jika ada dugaan kuat, hukum bersuci menggunakan air musyammas adalah haram

Alasan Hukum Makruhnya Air Musyammas

Alasan ('illat) hukum makruh menggunakan air musyammas adalah karat yang keluar dari wadah air musyammas tersebut bisa menyebabkan penyakit belang. Namun imam an-Nawawi lebih memilih hukum menggunakan air musyammas tidak makruh, sebab dalil yang mendasari hukum makruh ini berstatus lemah. Pendapat ini sebagaimana yang diungkapkan penyusun nadzam Shafwatu az-Zubad:

dan dipilih di dalam air musyammas hukum tidak makruh” (Dimasyhurkan dari imam Syafi'i sebuah ungkapan: “Saya tidak menghukumi makruh air musyammas kecuali dipandang dari sudut medis.")

Ke dua, air suci Namun Tidak mensucikan.

Termasuk golongan air ini adalah air musta'mal. Yang dimaksud air musta'mal adalah air yang telah digunakan untuk kefardluan dalam bersuci. Syarat air musta'mal ada empat:

1. Air kurang dari dua Qullah.

2. Telah digunakan untuk membasuh bagian fardlu, yaitu basuhan yang menghilangkan hadats atau najis.Catatan kaki

3. Sudah terpisah dari tempat yang terbasuh, sehingga air yang belum terpisah dari tempat yang terbasuh tidak dapat disebut air musta'mal.

4. Tidak bertujuan untuk menciduk saat air tersentuh dengan anggota badan yang hendak dibasuh. Jika disertai tujuan menciduk, maka air yang tersisa tidak dapat disebut musta'mal. Yang dimaksud dengan tujuan menciduk yaitu setelah pembasuhan wajah dan sebelum memasukkan tangan ke wadah air yang kurang dari dua Qullah, orang yang wudlu berniat untuk mengambil sebagian air guna membasuh tangan di luar wadah tersebut. Namun mengenai hukum niat menciduk dalam permasalahan ini masih diperselisihkan, apakah harus niat agar air tidak menjadi musta'mal ataukah tidak harus niat. (Catatan kaki)

Hukum Air Mutlak yang Berubah dengan Perkara Lain

Hukum air ini sebagaimana hukum air musta'mal, yaitu suci dan tidak dapat digunakan untuk bersuci dengan beberapa syarat. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi,? hukumnya sah bersuci dengan air ini. Syarat-syaratnya sebagai berikut:

1. Perubahan air disebabkan perkara suci. Jika disebabkan perkara najis, maka hukumnya menjadi najis.

2. Perubahannya disebabkan perkara yang mencampuri (mukhalith) seperti kopi. Jika disebabkan perkara yang menyandinggi (mujawir) seperti kayu, tidak dapat mempengaruhi kemutlagan air, sehingga hukumnya sah bersuci menggunakan air tersebut.

Batasan mujawir adalah perkara yang tidak dapat dipisahkan dari air ketika sudah tercampur, atau perkara yang tidak dapat dibedakan dari air dengan pandangan mata secara urf (kebiasaan). Batasan mujawir adalah perkara yang mungkin untuk dipisahkan dari air meskipun sudah masuk di dalam air, atau bisa dibedakan dengan pandangan mata.

3. Perubahan yang terjadi sangat banyak atau tampak (fahisy), sekira nama kemutlakan air menjadi hilang. Seperti air perasan, kua dan teh. Hukum bersuci dengan air yang demikian adalah tidak sah. Jika perubahan yang terjadi tidak terlalu banyak, maka tidak berpengaruh pada kemutlakan air.

4. Perkara yang mencampuri mudah terhindar dari air. Berbeda halnya dengan perkara yang sulit terhindar seperti lumut, maka hukum bersuci dengan air tersebut adalah sah.

Contoh-Contoh Air yang Berubah

1. Perubahan yang terjadi sebab kayu atau minyak tidak dapat berpengaruh pada kemutlakan air. Karena kayu atau minyak termasuk mujawir, meskipun perubahan yang terjadi sangat banyak dan dapat terhindar dari air.

2. Perubahan yang disebabkan perasan anggur, minyak ja'faran, celak dan kayu Asynan. Perubahan ini mempengaruhi kemutlakan air, karena barang-barang ini termasuk mukhalith jika syarat-syarat yang lain terpenuhi.

3. Perubahan air disebabkan terlalu lama diam atau disebabkan tanah. Perubahan ini tidak berpengaruh, begitu pula perubahan yang disebabkan barang-barang yang terdapat di tempat air atau di tempat alirannya. Perubahan sebab garam air, dan dedaunan yang rontok dan masuk ke air dengan sendirinya (bukan karena perbuatan). Semua perkara ini tidak berpengaruh karena sulit dihindari air, sehingga tetap sah digunakan bersuci meski telah menghilangkan status nama air. Penyusun Shafwatu az-Zubad berkata:

“Bersuci hanya bisa sah dengan menggunakan air mutlak, tidak dengan air musta'mal.”

“Dan tidak sah dengan air yang berubah dengan perkara suci yang mukhalith, dengan perubahan yang merubah kemutlakan nama air.”

“Di dalam rasa, bau dan warnanya, dan mungkin air bisa dihindarkan dari perkara tersebut.”

“Dan kecualikanlah perubahan sebab kayu padat, atau dedaunan atau lumut atau debu."

Ke-tiga, air najis atau mutanajjis

Yaitu air yang dihukumi najis karena kemasukan najis

Keadaan-Keadaan Air yang Terkena Najis

1. Ketika air kurang dari dua qullah, maka menjadi najis secara mutlak dengan hanya tersentuh najis meskipun tidak sampai berubah.
2. Air yang banyak, dua qullah atau lebih, tidak dihukumi najis ketika terkena najis, kecuali terjadi perubahan, baik bau, rasa atau warna, meskipun perubahannya hanya sedikit.
  Dua Qullah secara bahasa adalah dua aliran yang besar. Sedangkan secara syara' adalah air yang kadar ukurannya mencapai lima ratus Rithl negara Iraq atau lima ratus enam puluh lima Rithl negara Tarim. Dan ukuran sekarang adalah dua ratus tujuh belas (217) liter yang seukuran dengan sepuluh ceret, sebagaimana yang diungkapkan sebagian ulama:

Dua Qullah adalah air sebanyak sepuluh ceret, sebagaimana yang telah terbukti tanpa ada keraguan.

Permasalahan-Permasalahan yang Terkait dengan Air Mutanajjis.

1. Ketika ada air banyak terkena najis, namun kita ragu apakah terjadi perubahan ataukah tidak, apakah diperbolehkan bersuci dengan air tersebut?
Jawab: Diperbolehkan, dan hukumnya sah bersuci dengan air tersebut, karena sesungguhnya hukum asal air tersebut adalah suci.
2. Ketika ada air banyak terkena najis dan mengalami perubahan, namun kita masih ragu apakah perubahan itu disebabkan perkara suci atau najis, apakah hukumnya?
Jawab: Air tersebut dihukumi suci, karena sesunggunya hukum asal air adalah suci.
3. Ketika air banyak yang telah berubah disebabkan perkara najis, kemudian jarak beberapa lama kita ragu, apakah perubahannya sudah hilang ataukah belum, apakah hukumnya ?
Jawab: Kita menghukumi air tersebut najis, karena kita telah memastikan air tersebut sebelumnya adalah najis (dan masih ragu apakah hukum najis itu telah hilang). Catatan Kaki

Najis-Najis yang Dima'fu Ketika Mengenai Air

Najis yang dima'fu (dimaafkan) saat mengenai air atau benda cair selain air adalah najis yang tidak terlihat oleh mata normal dan bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya, yaitu binatang yang ketika anggota badannya disobek, darahnya tidak mengalir, seperti lalat. Bangkai ini hukumnya ma'fu dengan dua syarat:
1. Mengenai air bukan karena perbuatan seseorang.
2. Bangkai tersebut tidak sampai merubah sifat-sifat air.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan penyusun nadzam Shafwah az-Zubad:
Dan kecualikanlah bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya, (Catatan kaki)
atau najis yang tidak bisa terlihat oleh mata normal.”

Cara-Cara Mensucikan Air yang Terkena Najis

Air yang terkena najis dapat menjadi suci dengan tiga cara:

1. Suci dengan sendirinya. Yaitu perubahan yang disebabkan najis yang mengenainya telah hilang. Hal ini jika ukuran air mencapai dua qullah atau lebih.
2. Suci dengan ditambahkan air lagi hingga mencapai dua qullah atau lebih. Cara ini disebut dengan mukatsarah. Dan tidak bisa suci jika yang digunakan memperbanyak berupa perkara najis, seperti air kencing.
3. Suci dengan mengurangi ukuran air, dengan syarat air yang tersisa tidak kurang dari dua qullah.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan penyusun nadzam Shafwatu az-Zubad:
“Jika perubahan air sebab najis telah hilang dengan sendirinya, dan dengan ditambahkan air, tidak dengan sejenisnya ja'faran, maka hukum air tersebut telah suci.”

Permasalahan-Permasalahan yang Terkait dengan Air

1. Bagaimanakah contoh air yang digunakan mandi wajib atau wudlu wajib namun tidak sampai musta'mal?
Jawab: Ketika nadzar melakukan mandi sunnah, seperti mandi Jum'at. Atau nadzar mengulangi wudlu sebelum batal. Maka keduanya hukumnya wajib, namun air yang digunakan tidak menjadi musta'mal, karena keduanya tidak menghilangkan hadats, sedangkan hukum wajib keduanya baru datang bukan asalnya, sedangkan yang dipertimbangkan adalah yang asalnya wajib.
2. Ketika ada beberapa air mutanajjis yang berada di beberapa wadah yang berbeda, kemudian kita kumpulkan di dalam satu wadah, apakakah hukumnya?
Jawab: Jika yang terkumpul mencapai dua gullah dan tidak ada perubahan pada sifat-sifatnya, hukumnya suci dan mensucikan, meskipun setelahnya dipisah-pisahkan kembali. Jika tidak memenuhi kriteria di atas, hukumnya tidak suci.
3. Bagaimanakah contoh air yang mencapai ratusan qullah akan tetapi hukumnya najis, padahal tidak ada perubahan sama sekali pada sifat-sifatnya?
Jawab: Contohnya adalah air mengalir di tempat aliran yang terdapat najis yang terhenti dan ukuran setiap alirannya kurang dari dua gullah. Maka semua aliran air ini adalah najis meski tidak berubah, selama masih berada di tempat alirannya, meski mencapai ratusan atau ribuan gullah. Jika telah terkumpul dalam satu tempat dan ukurannya mencapai dua gullah, maka kita hukumi suci dan mensucikan.
4. Bagaimanakah contoh dua air yang sah digunakan bersuci jika sendiri-sendiri, dan tidak sah jika dikumpulkan jadi satu?
Jawab: Contohnya adalah ketika ada air berubah disebabkan perkara di tempatnya atau di tempat alirannya seperti lumut, lalu dicampurkan ke air yang tidak mengalami perubahan, kemudian berubah sebab percampuran ini hingga menghilangkan kemutlakan air, maka hukumnya tidak sah bersuci dengan air ini karena perubahan yang terjadi disebabkan oleh sesuatu yang mudah dihindari air. (Hal ini menurut pendapat ar-Ramli, sedangkan menurut Ibnu Hajar diperbolehkan).

PERUBAHAN YANG DIKIRA-KIRAKAN

Definisi at-taghayyur at-taqdiri (perubahan yang dikira-kirakan) adalah kita menghukumi najis atau sucinya air dengan cara perkiraan, meskipun sifat-sifat air tersebut masih menetapi sifat aslinya.
At-Taghayyur at-taqdiri memiliki dua keadaan:
1. Air kemasukan najis yang sifatnya telah sesuai dengan sifat-sifat air, seperti air kencing yang sudah tidak berbau, maka perubahan air tersebut dikira-kirakan dengan sesuatu yang sifatnya sangat mencolok, seperti tinta untuk mengira-ngirakan warnanya, misik untuk baunya, dan cuka untuk rasanya. Perkiraan ini disesuaikan dengan sifat-sifat asli najis yang masuk ke air tersebut yang berbeda dengan sifat-sifatnya air. Kemudian, jika terjadi perubahan pada sifat air dengan perkiraan ini, maka hukum air tersebut adalah najis. Perkiraan ini tidak terjadi kecuali pada air yang banyak, dan hukum melakukan perkiraan ini adalah wajib.
2. Air kemasukan cairan suci yang sifat-sifatnya telah sesuai dengan sifat-sifat air. Seperti air mawar yang sudah tidak berbau atau air musta'mal. Dalam keadaan seperti ini, perubahan air dikira-kirakan dengan sesuatu yang memiliki sifat tidak terlalu mencolok. Perasan Anggur untuk mengira-ngirakan perubahan warna, Delima untuk rasa dan air susu binatang jantan untuk baunya. Dalam melakukan perkiraan yang dipertimbangkan hanya sifat cairan yang berbeda dengan sifat air. Jika perkiraan ini menimbulkan perubahan pada sifat air, maka hukum air tersebut suci namun tidak mensucikan, sehingga tidak sah bersuci dengan menggunakannya. Perkiraan ini dapat dilakukan pada air sedikit atau banyak, dan hukumnya sunnah. Sehingga, jika seseorang bersuci menggunakan air tersebut tanpa didahului ijthad (upaya memperkirakannya) terhadap berubah dan tidaknya air, hukum bersucinya tetap sah.

BAB MENERANGKAN ANIYAH (PERABOT)

al-'Aniyah adalah bentuk jama' dari lafadz ina". Sedangkan lafadz al-awani adalah bentuk jama' dari lafadz al-aniyah. Yang dikehendaki dengan al-aniyah adalah segala sesuatu yang menempati ruang kosong meskipun sangat kecil, (catatan kaki) atau sesuatu yang dapat memindah perkara lain dari satu tempat ke tempat yang lain.

Hukum menggunakan al-Aniyah

Diperbolehkan menggunakan segala macam alat kecuali yang terbuat dari emas dan perak. Sedangkan menggunakan alat yang terbuat dari emas dan perak hukumnya haram, baik bagi laki-laki maupun perempuan, karena akan menimbulkan kesan sombong dan membuat hati orang-orang faqir miskin menjadi sedih dan perih.

Menggunakan perabot yang terbuat dari emas dan perak diperbolehkan jika ada hajat, seperti digunakan sebagai alat bercelak untuk memperjelas penglihatan. Atau dalam keadaan darurat seperti digunakan alat untuk minum ketika tidak ditemukan alat yang lain.

Haram menyimpan perabot yang terbuat dari emas dan perak meskipun tidak digunakan, karena dengan menyimpan terkadang akan mendorong pada penggunaan.

Perabot yang terbuat dari logam mulia dan bahan-bahan yang indah, seperti Yaqut, Kristal permata dan intan hukumnya tidak haram digunakan atau di simpan, meskipun harganya lebih mahal daripada emas. (catatan kaki)

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan penyusun nadzam Shafwatu az-Zubad:

"Diperbolehkan menggunakan perabot suci yang terbuat dari kayu, atau selainnya, tidak yang terbuat dari perak dan emas."

"Maka haram menggunakan yang terbuat dari emas dan perak, seperti alat celak, bagi perempuan, dan juga halal memakai alat yang terbuat daripermata.”

Permasalahan Tambalan

Ad-dhabbah adalah lempengan emas atau perak yang digunakan untuk memperbaiki wadah/ perabot yang pecah, atau untuk menghiasi.

Perincian Hukum Tambalan

Adakalanya tambalan itu kecil dan adapula yang besar. Ada yang karena hajat adapula yang karena hiasan saja. Sedangkan hukumnya ada yang boleh, makruh dan yang haram.

Tambalan emas dan perak hukumnya mubah dalam satu keadaan, yaitu ketika ukuran tambalannya kecil dan ada hajat. Hukumnya makruh di dalam empat keadaan, yaitu:

1. Ukuran tambalannya besar dan ada hajat.

2. Ukuran tambalannya kecil dengan tujuan hiasan.

3. Ukuran tambalannya kecil, sebagian karena hiasan dan sebagian lagi karena hajat.

4. Ketika masih diragukan kecil dan besarnya ukuran tambalan, baik semuanya karena hiasan, atau sebagian karena hiasan dan sebagian yang lain karena ada hajat.

Tambalan emas dan perak hukumnya haram dalam dua keadaan, yaitu:

1, Ukuran tambalan besar dengan tujuan hiasan.

2. Ukuran tambalan besar, sebagian karena hiasan dan sebagian yang lain karena ada hajat.

Batasan besar dan kecilnya ukuran tambalan

dikembalikan ke urf (kebiasaan yang berlaku). Yang dimaksud dengan hajat yaitu ada bagian dari perabot yang pecah kemudian ditambal dengan emas dan perak. Penyusun nadzam Shafwatu az-Zubad berkata:

Haram menambal dengan emas dan perak, yang besar secara urf dengan tujuan hiasan.”

“Jika kedua syarat ini tidak terpenuhi maka hukumnya halal, dan makruh jika ada salah satunya, hajat adalah yang sesuai dengan ukuran pecahnya wadah.”

Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi perincian tambalan di atas, apakah mencakup tambalan emas dan perak ataukah tambalan perak saja. Menurut imam Rafi'i, perincian diatas mencakup tambalan emas dan perak. Sedangkan pendapat mu'tamad menurut imam an-Nawawi adalah perincian di atas hanya untuk tambalan dari perak saja, sedangkan tambalan emas hukumnya haram secara mutlak. Sebagaimana yang diungkapkan al-Allamah Muhammad ibn Ahmad al-Maki al-Asadi di dalam kitab Zawa'idu az-Zubad:

“Haramkanlah tambalan emas secara mutlak, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh imam Nawawi.”

at-Tamwih (Penyepuhan)

at-Tamwih adalah melapisi bagian luar perabot dengan emas dan perak. Hal ini lebih dikenal dengan istilah at-thila" (sepuhan). Hukum menyepuh adalah haram secara mutlak.

Sedangkan menggunakan barang yang telah disepuh hukumnya diperinci:

1. Jika tidak ada bagian sepuhan yang terlepas dari perabot saat dipanggang dengan bara api karena sepuhannya sangat sedikit, maka hukum menggunakannya adalah halal secara mutlak bagi laki-laki dan perempuan.

2. Jika ada bagian sepuhan yang terlepas saat dipanaskan dengan api, maka haram menggunakannya bagi laki-laki dan perempuan (catatan kaki)

Menutup wadah

Hukum menutup wadah adalah sunnah, meskipun hanya dengan membentangkan kayu di atasnya. Dan hal ini semakin kokoh dianjurkan saat malam hari, karena berdasarkan Hadits:

غطُّوا الإناء، وأَوْكِئُوا السِّقَاء، وأغْلِقُوا الأبْوَاب، وأطْفِئُوا السِّراج؛ فإن الشيطان لاَ يَحُلُّ سِقَاء، ولا يفتح بابا، ولا يَكْشِف إناء

“Ada satu malam dalam setahun yang mana pada malam itulah turunnya wabah. Tidak ada satupun wadah yang tidak tertutup dan kantong air yang tidak terikat kecuali wabah itu masuk kedalamnya.” (HR. Muslim)

Sebagian ulama mensyaratkan bacaan basmalah untuk menghasilkan kesunnahan menutup dengan sebongka kayu. Penyusun nadzom Shafwatu a-Zubad berkata:

“Dan disunnahkan untuk menutup wadah, meski dengan sebongkah kayu yang dibentangkan di atasnya.”


BAB IJTIHAD

Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk menghasilkan tujuan. Sinonim ijtihad adalah Taharri dan Tawakhkhi.

Contoh ijtihad adalah ketika terjadi keserupaan terhadap seseorang diantara dua air, dua pakaian, dua wadah air atau dua tempat yang satu suci dan yang lain najis, maka ia melakukan ijtihad guna mengetahui yang mana yang suci. 

Diantara keduanya. Hukum ijtihad adakalanya tidak wajib dan terkadang wajib.

Ijtihad hukumnya tidak wajib dengan empat syarat:

1. Ada air dan sejenisnya yang suci dengan yakin selain yang masih diragukan. Jika tidak ada, wajib melakukan ijtihad.

2. Barang yang diragukan lebih dari satu. Jika hanya satu, tidak diperbolehkan melakukan jjtihad. Seperti baju yang terkena najis, namun tidak diketahui secara pasti bagian mana yang terkena. Kalau demikan, wajib mencuci seluruh bagian baju.

3. Ada kemungkinan besar bisa mengetahui mana yang suci dan yang najis, atau mengetahui mana yang halal dan yang haram berdasarkan tanda-tanda yang ada. Jika tidak ada kemungkinan besar untuk menghasilkan hal di atas, tidak diperbolehkan untuk ijtihad. Seperti seorang wanita mahramnya laki-laki yang serupa dengan beberapa wanita bukan mahramnya yang bisa terhitung jumlahnya, maka baginya tidak diperbolehkan menikahi salah satu dari mereka. (Catatan kaki)

4. Masing-masing dari perkara yang serupa itu asalnya merupakan perkara suci atau halal. Jika aslinya merupakan perkara najis seperti air kencing, atau aslinya haram seperti bangkai, ijtihad yang dilakukan tidak sah.

Ijtihad hukumnya wajib dengan tiga syarat:

1. Tidak ada perkara suci dengan yakin selain yang masih diragukan. (Catatan kaki)

2. Seandainya air yang masih diragukan dijadikan satu tidak mencapai dua qullah tanpa ada perubahan pada sifat-sifatnya.

3. Waktu shalat hampir habis. (catatan kaki)

Permasalahan-Permasalahan yang Terkait dengan Ijtihad

1. Jika ada air suci mensucikan yang serupa dengan air mawar, tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, bahkan wajib melakukan wudlu dengan masing-masing air tersebut. Sehingga dapat dipastikan telah melakukan wudlu dengan air yang hukumnya sah, dan tidak diperbolehkan meski terdapat keraguan saat niat.

2. Jika terjadi keserupaan pada seseorang diantara air suci mensucikan dan air kencing, tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, bahkan wajib membuang keduanya atau mencampurnya kemudian melakukan tayyamum.

Hal ini harus dilakukan karena tayyamum tidak bisa sah jika masih ada air suci mensucikan. Kita tidak bisa mengatakan: “Melakukan wudlu dengan masing-masing air tersebut.” Karena akan mengotori badan dengan najis, dan hukumnya haram.

3. Jika terjadi keserupaan pada seseorang diantara dua wadah, kemudian salah satunya nampak suci berdasarkan tanda-tandanya, wajib untuk menggunakannya dan sunnah membuang air di wadah yang satunya. Karena jika tidak dibuang kemudian masuk waktu shalat berikutnya, wajib melakukan ijtihad lagi. Jika ijtihad kedua sesuai dengan sebelumnya, maka diberlakukan seperti yang pertama. Namun, jika berbeda, maka wajib membuang kedua air tersebut (atau salah satunya), kemudian melakukan tayyamum dan shalat tanpa wajib untuk mengulangi kembali jika sudah menemukan air suci mensucikan dengan yakin. Ijitihad kedua tidak bisa merusak apa yang telah dilakukan dengan ijtihad yang pertama. Catatan Kaki

4. Wajib bagi orang yang bisa melihat untuk melakukan ijtihad jika mampu. Jika tidak mampu, boleh untuk mengikuti ijtihad orang lain. Sedangkan bagi orang buta boleh untuk mengikuti ijtihad orang lain, meskipun ia mampu melakukan jjtihad sendiri.

5. Jika ada orang terpercaya yang memberitahu tentang najisnya sesuatu yang masih diragukan dan menjelaskan sebabnya, wajib mempercayainya. Begitu juga jika yang memberitahukan adalah ahli figih yang madzhabnya sama dengan yang diberitahu, meskipun tanpa menjelaskan sebabnya.

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shafwatu az-Zubad:

Dan diperbolehkan melakukan ijtihad karena keserupaan barang suci, dengan perkara najis meskipun bagi orang buta yang mampu melakukan ijtihad.”

“Tidak pada lengan baju, air kencing, bangkai, air Mawar, Khamr, air susu keledai betina dan mahram.

Makna bait yang kedua adalah tidak diperbolehkan ijtihad pada al-kum yaitu satu barang yang masih diragukan, karena tidak ada pembandingnya. Juga tidak diperbolehkan ijtihad jika serupa dengan air kencing, karena kencing hukum aslinya adalah najis. Dan yang serupa dengan bangkai, karena tidak halal sejak awal. Dan yang serupa dengan air mawar, karena air mawar tidak mensucikan. Yang serupa dengan arak, karena hukumnya najis dan tidak halal sejak awal. Yang serupa dengan air susu keledai betina, karena hukumnya tidak halal secara asli. Dan tidak diperbolehkan ijtihad pada orang yang serupa dengan mahram, karena tidak ada tanda-tanda yang bisa dijadikan pijakan.

BAB SIWAK

Bab ini kadang juga disebut bab perbuatan-perbuatan membersikan badan (khishalil fithrah). Disebut BAB SIWAK karena pembahasan yang paling banyak dalam bab ini adalah mengenai siwak.

Pembahasan Pertama: Pengertian Bersiwak

Secara bahasa bersiwak mempunyai arti menggosok. Sedangkan menurut syara' adalah menggosok gigi dan bagian-bagian sekitarnya dengan sesuatu yang kasar.

Keutaman Siwakan

Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw disebutkan sesungguhnya beliau bersabda:

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالْسِّواك عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ

“Seandainya aku tidak akan membebani umatku, niscaya akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak melakukan shalat” (HR. Bukhari)

Dalam satu riwayat disebutkan:

مع كُلِّ وضوءٍ

“Besertaan setiap melakukan wudlu.” (HR. Bukhari)

Beliau Nabi Saw juga bersabda:

السواك مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ و مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ ومجلاة للبصر

“Bersiwak bisa membersihkan mulut, membuat Allah swt ridla dan memperjelas penglihatan.” (HR. Bukhari)

Nabi juga bersabda,

ركعتان بسواك خير من سبعين ركعة بغير سواك

“Shalat dua rakaat dengan bersiwak lebih baik daripada tujuh puluh rakaat tanpa bersiwak.” (HR. Abu Nu'aim & Daru ath-Quthni)

Dan juga bersabda,

فضل الصلاة بالسواق على الصلاة بغير سواك سبعين ضعفا

“Keutamaan shalat dengan bersiwak itu tujuh puluh kali lipat dibanding shalat tanpa bersiwak.” (HR. Ahmad & Khuzaimah)

Faedah-Faedah Bersiwak

Faedah-faedah bersiwak sangat banyak. Sebagian ulama ada yang menghitung jumlahnya hingga mencapai tujuh puluh faedah. Diantaranya adalah bersiwak bisa menambah kefasihan, kecerdasan dan hafalan, bisa mempertajam penglihatan, memudahkan lepasnya ruh, menggetarkan musuh, melipat gandakan pahala, memperlambat tumbuhnya uban, membersihkan bau mulut, menghilangkan kotoran dan kuning-kuning pada gigi, memperkuat gusi, memperbaiki pertumbuhan, menjadikan Allah SWT ridla, memutihkan gigi, mendapatkan kekayaan dan kemudahan, menghilangkan pusing dan sakit otot kepala, menyehatkan dan memperkuat pencernaan, membersihkan hati, dan faedah yang paling agung adalah memudahkan ucapan kalimat syahadat saat menjelang ajal.

Hukum Bersiwak Ada Lima

1. Wajib, ketika hanya bersiwak yang bisa menghilangkan najis dan bau mulut tak sedap saat hendak shalat Jum'at, dan ketika nadzar untuk bersiwak.

2. Sunnah, dan ini adalah hukum asal bersiwak. Bersiwak sangat dianjurkan dalam beberapa tempat sebagaimana yang diisyaratkan sebagian ulama:

Disunnahkan bersiwak setiap waktu, dan terdapat, beberapa tempat yang sangat diajurkan oleh orang yang membawa berita gembira (Nabi Saw).”

Wudlu, shalat, bersama teman, masuk ke rumah, hendak tidur, bangun tidur, dan saat bau mulut tidak sedap.” catatan kaki

3. Makruh, yaitu bagi orang yang berpuasa setelah tergelincirnya Matahari. Imam Nawawi memilih hukum tidak makruh, sebagaimana yang diungkapkan penyusun nadzam Shafwatu az-Zubad:

“Adapun bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah tengah hari,

maka hukum yang dipilih adalah tidak makruh, dan haram menyambung puasa tanpa disela-selai berbuka.”

4. Khilaful aula (tidak melakukan yang terbaik), bersiwak dengan siwak orang lain disertai izin. Namun jika tujuannya untuk mendapatkan barakah (semisal siwaknya orang shaleh), maka hukumnya sunnah.

5. Haram, yaitu menggunakan siwak orang lain tanpa izin dan tidak mengetahui kerelaan pemiliknya.

Masih diperselisihkan mengenai waktu bersiwak saat wudlu dan mandi. Menurut imam ar-Ramli, waktunya adalah sebelum membasuh kedua telapak tangan. Sehingga membutuhkan niat sunnah wudlu atau mandi saat bersiwak. Sedangkan menurut Ibnu Hajar waktunya adalah setelah membasuh kedua telapak tangan, sehingga untuk menghasilkan kesunnahan tidak butuh untuk diniati.

Tingkatan Siwak

Siwak mempunyai lima tingkatan:

1. Bersiwak dengan kayu Arak.

2. Bersiwak dengan pelapah daun Kurma.

3. Bersiwak dengan kayu Zaitun.

4. Bersiwak dengan kayu yang berbau wangi selain tangkai bunga.

5. Bersiwak dengan kayu-kayu yang lain.

Setiap tingkatan ini memiliki lima tingkatan lagi, sehingga semuanya ada dua puluh lima tingkatan. Dan tingkatan yang paling utama adalah sebagai berikut :

1. Bersiwak dengan kayu Arak yang dibasahi dengan air.

2. Bersiwak dengan kayu Arak yang dibasahi dengan air mawar.

3. Bersiwak dengan kayu Arak yang dibasahi dengan ludah.

4. Bersiwak dengan kayu arak basah.

5. Bersiwak dengan kayu Arak kering.

Sebagian ulama berkata dalam sebuah nadzam tentang tingkatan-tingkatan ini:

“Kayu arak, pelapah Kurma, Zaitun dengan berurutan, lalu kayu yang berbau wangi, dan sempurnakanlah dengan kayu-kayu yang lain.”

“Ketahuilah dan amalkanlah di dalam kayu arak, yaitu setiap kayu arak yang dibasahi air, lalu air mawar, kemudian ludah, lalu arak basah dan terakhir arak kering.” (Urutan ini sebagaimana pendapat mu'tamad menurut al-Hafaniy)

Cara Memegang Siwak

Meletakkan jari kelingking tangan kanan di bagian bawah siwak dan meletakkan jari manis, jari tengah dan jari telunjuk di atas siwak, sedangkan posisi ibu jari berada di bawah ujung atas siwak.

Cara Pemakaian Siwak

Menggosok bagian lebarnya gigi dan panjangnya lidah. Dimulai dari bagian mulut sebelah kanan dengan meratakan seluruh bagian gigi atas bawah, luar dan dalam. Kemudian melakukan hal yang sama pada bagian mulut sebelah kiri.
Ukuran Panjang Siwak
Disunnahkan ukuran panjang siwak tidak melebihi satu jengkal dan tidak kurang dari empat jari.

Doa di Awal Bersiwak


”Ya Allah, dengan siwak, putihkanlah gigiku, kuatkan gusiku, tetapkan langit-langit mulutku, fasihkan lisanku, berkahilah aku dalam bersiwak dan berikanlah pahala padaku atas bersiwak, wahai Tuhan yang paling belas kasih.”

Permasalahan-Permasalahan Terkait Bersiwak

1. Makna dari sabda Nabi Muhammad Saw: “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dibanding bau minyak Misik.” Yaitu sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih utama dari pada bau minyak misik yang disunnahkan ketika shalat Jum’at dan dua hari raya, ditinjau dari sisi pahalanya.
2. Sunnah menelan ludah dipermulaan bersiwak dengan siwak yang baru, dan tidak sunnah menghisap siwak.
Sunnah membersihkan sela-sela gigi sebelum dan setelah bersiwak. Dan sunnah meletakkan siwak di bawah dalam keadaan tegak, tidak dibiarkan tergeletak begitu saja. Makruh memasukkan siwak ke dalam air wudlu. Dan juga makruh bersiwak dengan bagian samping siwak, tidak dengan ujungnya.
3. Ulama sepakat bahwa bersiwak dengan jari dihukumi sah, jika menggunakan jari orang lain yang masih menempel di badan dan agak kasar. Begitu juga dihukumi sah menurut Ibnu Hajar jika menggunakan jari sendiri atau orang lain yang sudah terpisah dari badan, jika keduanya kasar. Berbeda dengan imam ar-Ramli yang mengatakan tidak sah bersiwak dengan keduanya.

Membersihkan Badan yang ke Dua: Bercelak

Sunnah bercelak dengan hitungan ganjil, tiga usapan pada mata kanan dan tiga usapan pada mata kiri setiap malam saat hendak tidur. Sunnah menggunakan celak Itsmid.
Ketika bercelak sunnah berdoa:


“Ya Allah tajamkanlah penglihatanku dan mata hatiku. Jadikan hatiku lebih baik daripada yang nampak padaku. Dan jadikan apa yang nampak dariku sesuatu yang baik.”

Membersihkan Badan yang ke Tiga: Meminyaki Badan

Penggunakan minyak dilakukan waktu demi waktu. Dan semakin dianjurkan saat kulit kering dan di musim dingin.

Membersihkan Badan yang ke Empat: Membersihkan Bulu Ketiak

Bagi laki-laki sunnah membersihkan bulu ketiak dengan cara mencabut, sedangkan bagi perempuan dengan cara mencukur.

Membersihkan Badan yang ke Lima: Membersihkan Bulu Kemaluan

Membersihkan badan ini disebut dengan istilah istihdad.

Bagi laki-laki sunnah membersihkan dengan cara mencukur, sedangkan bagi perempuan sunnah dengan cara mencabut.

Membersihkan Badan yang ke Enam: Memotong Kuku

Dalam memotong kuku sunnah dimulai dari bagian kanan. Dan ada beberapa cara dalam pemotongan kuku, sebagaimana berikut ini:
  1. Dimulai dari jari telunjuk tangan kanan sampai jari kelingking tangan kanan. Kemudian dari jari kelingking tangan kiri sampai ibu jari tangan kiri, dan diakhiri dengan ibu jari tangan kanan. Cara ini adalah menurut imam al-Ghazali.
  2. Dimulai dari jari telunjuk tangan kanan sampai jari kelingkingnya, lalu ibu jari tangan kanan. Kemudian dari jari kelingking tangan kiri sampai ibu jari. Cara ini menurut imam an-Nawawi.
  3. Dimulai dari jemari tangan kanan sesuai urutan huruf خوابس, (kelingking, tengah, jempol, manis, telunjuk) dilanjutkan jari tangan kiri sesuai urutan huruf أوخسب (jempol, tengah, kelingking, manis, telunjuk).
Semua ini adalah bentuk pemotongan kuku jari tangan. Sedangkan dalam pemotongan kuku jari kaki, sunnah dimulai dari jari kelingking kaki kanan hingga sampai jari kelingking kaki kiri.

Hari yang disunnahkan memotong kuku

Sunnah untuk memotong kuku pada hari Senin, Kamis, dan pagi hari Jum'at. Setelah memotong sunnah untuk membasuh jari.

Membersihkan Badan yang ke Tujuh: Khitan

Khitan adalah memotong kulit yang berada di bagian atas kemaluan. Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan perempuan yang sudah baligh. Khitan sunnah dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah kelahiran. (Catatan kaki)
Bagian yang harus dipotong saat mengkhitan laki-laki adalah semua kulit yang menutupi hasyafah (ujung/kepala kemaluan). Sedangkan dalam mengkhitan perempuan sudah dianggap cukup dengan
memotong sebagian badzri.
Membersihkan badan yang lain adalah mencukur kumis sekira bagian bibir yang merah tidak lagi tertutup. Dan membasuh barajim, — yaitu bagian sela-sela jari tangan.
Hukumnya makruh melakukan Qaza', yaitu mencukur sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian yang lain.
Dan juga makruh mencukur rawis dan alis.

Hukum Mencukur Jenggot

Imam Syafi'ii di dalam kitab al-Umm mempertegas bahwa hukum mencukur jenggot adalah haram. Sedangkan Imam an-Nawawi dan imam ar-Rafi'i lebih memilih hukum makruh. Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat menurut Syaikhul Islam Zakariyah al-Anshari, Ibnu Hajar, ar-Ramli, al-Khatib asy-Syirbini dan ulama-ulama yang lain.

Hukum Menyemir Rambut Kepala dan Jenggot dengan Semir Hitam

Hukum menyemir dengan semir hitam hukumnya haram. Kecuali karena tujuan berperang, dan bagi wanita atas perintah suami menurut imam ar-Ramli.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan penyusun nadzam Shafwatu az-Zubad:
“Dan disunnahkan bercelak dengan hitungan ganjil, dan minyakilah rambut, dan cukurlah kuku.”
“Cukurlah ketiak, dan cukurlah kumis, cukurlah bulu kemaluan. Dan khitan itu wajib hukumnya.”
"Bagi orang baligh, yaitu memotong bagian yang menutupi hasyafah laki-laki, dan memotong sebagian bidzir bagi perempuan, dan makruh melakukan Qaza' Dan makruh mencukur rawis, jenggot dan alis.”



BAB WUDLU

Wudlu secara bahasa mempuyai arti nama pembasuhan sebagian anggota badan. Wudlu diambil dari kata al-Wadla'ati, yang mempunyai arti bagus dan indah. Sedangkan secara syara' adalah nama basuhan anggota badan tertentu dengan niat tertentu dan cara tertentu.
Apakah perbedaan kata Wudlu dengan Wadlu? Wadlu adalah nama sisa air yang digunakan Wudlu. Sedangkan Wudlu adalah nama pekerjaannya.

Keutamaan Wudlu

Diriwayatkan dari Baginda Nabi Muhammad Saw, sesungguhnya beliau bersabda: 

لا يسبغ عبد الوضوء إلا غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر 
“Tidak ada seorang hamba yang menyempurnakan wudlunya, kecuali diampuni dosa-dosa yang telah dan belum ia lakukan.” (HR. al-Bazzar)

Beliau juga bersabda:

الصلاة خير موضوع ولا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن
“Shalat adalah ketetapan yang terbaik, dan tidak akan menjaga wudlu kecuali orang mukmin.” (HR. Ahmad)

Dan beliau juga bersabda:
من توضأ فأحسن الوضوء، خرجت خطاياه من جسده حتى تخرج من تحت أظفاره
“Bagi siapapun yang melakukan wudlu kemudian menyempurnakannya, maka dosa kesalahannya akan keluar dari badannya hingga dari bawah kuku-kukunya,” (HR. Muslim)

Permasalahan

Apakah yang mewajibkan wudlu, apakah hadats ataukah karena hendak melakukan shalat?
Jawab: Menurut pendapat yang kuat (mu'tamad) sesungguhnya yang mewajibkan wudlu adalah hadats. Sedangkan menghilangkan hadats adalah syarat sahnya shalat. Dan hendak melakukan shalat hanyalah syarat untuk segera melakukan wudlu.

FARDLU-FARDLU WUDLU

Fardlunya wudlu ada enam. Empat berdasarkan al-Qur'an, yaitu membasuh wajah, kedua tangan, mengusap sebagian kepala dan membasuh kaki. Sedangkan dua fardlu yang lain berdasarkan Hadits, yaitu niat dan tertib. Dalil semua ini adalah firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Qs. Al-Ma'idah: 6)

Sebagaimana ungkapan penyusun Shafwatu az-Zubad:
“Fardlunya wudlu adalah niat, dan basuhlah wajahmu, dan basuhlah kedua tangan beserta kedua siku.”
“Dan mengusap sebagian kepala, kemudian basuh dan ratakanlah kedua kakimu beserta kedua mata kaki, lalu terakhir tertib."

Penjelasan Fardlu-Fardlu Wudlu

  1. Niat. Bentuk niat-niat wudlu adalah niat menghilangkan hadats, niat wudlu atau niat bersuci untuk melaksanakan shalat. Waktu pelaksanaan niat adalah ketika pembasuhan awal bagian wajib, karena yang dipertimbangkan dalam niat adalah bagian fardlu.
  2. membasuh wajah. Dinamakan wajah karena merupakan anggota badan yang digunakan untuk bertatap muka, yang diambil dari kata muwajahah. Batas panjang wajah adalah mulai tempat tumbuhnya rambut kepala hingga batas akhir kedua janggut, sedangkan lebarnya adalah diantara kedua telinga.

Hukum Membasuh Bulu di Wajah.

Wajib membasuh seluruh bulu yang tumbuh di wajah, luar dalam. Kecuali jenggot dan jambang (godek) yang tebal, hanya wajib membasuh bagian luarnya saja, tidak bagian dalamnya. Namun sunnah untuk menyela-nyelai keduanya dari arah bawah dengan tangan kanan.

Batasan Jenggot Tebal Dan Tipis.

Jenggot yang tebal adalah jenggot yang tidak terlihat kulit di bawahnya saat berbincang-bincang (kira-kira jarak satu meter setengah). Sedangkan yang tipis adalah yang dapat terlihat kulit di bawahnya. Batasan bagian luar jenggot adalah bagian yang tampak di permukaan wajah, sedangkan bagian selain ini adalah bagian dalam jenggot. 
3. membasuh kedua tangan hingga kedua siku. Siku adalah dua tulang yang nampak diantara lengan bawah dan lengan atas. Setiap tangan memiliki dua siku. Wajib membasuh sebagian lengan atas guna memastikan terbasuhnya seluruh tangan, hal ini berdasarkan kaedah fiqh:
“Perkara yang menyempurnakan hal yang wajib, hukumnya juga wajib.”

4. mengusap sebagian kulit atau rambut kepala.

Dan sudah dihukumi sah hanya dengan mengusap sebagian dari sehelai rambut. Syarat rambut yang sah untuk diusap adalah rambut yang ketika ditarik tidak akan keluar dari batas kepala melalui jalur turunnya.

5. membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki.

Mata kaki adalah dua tulang yang nampak (menonjol) diantara telapak kaki dan betis. Di setiap kaki terdapat dua mata kaki.

Wajib membasuh sebagian betis guna memastikan bahwa seluruh kaki telah terbasuh. Hal ini berdasarkan kaedah figh:

“Perkara yang menyerpurnakan hal yang wajib, hukumnya juga wajib.”

6. Tartib. Karena sesungguhnya Rasulullah Saw melaksanakan wudlu dengan cara tertib. Imam Syafi'i Ra berkata: “Sesungguhnya Allah swt menyebutkan anggota yang diusap diantara dua anggota yang dibasuh itu karena faedah tartib”

Permasalahan

Wajib melaksanakan wudlu dengan cara tertib, kecuali dalam satu permasalahan, yaitu ketika menyelam di air meskipun hanya sebentar saja disertai niat wudlu saat menyelam. Maka dalam keadaan ini kewajiban tertib menjadi gugur. Ini adalah pendapat yang kuat menurut Imam an-Nawawi, karena sesungguhnya tertib telah terlaksana dalam waktu yang sangat sebentar, yang tidak bisa diketahui oleh mata. Sedangkan menurut Imam ar-Rafi'i, wajib berdiam diri di air dalam waktu yang dimungkinkan bisa mengira-ngirakan tertib.

SUNNAH-SUNNAH WUDLU

Sunnah-sunnah wudlu itu banyak, sebagian ulama mengumpulkannya hingga mencapai tujuh puluh, diantaranya adalah:

Pertama, Kesunnahan Sebelum Wudlu

1. Mengucapkan niat sunnah wudlu dengan mengucapkan: نويتُ سُنَنَ الوُضُوءِ

2. Membaca basmalah dan ta'awudz. Minimal lafadz: بسم الله dan maksimal 

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ, رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَعُوْذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُوْنَ

3. Bersiwak. Sunnah menggunakan kayu arak yang dibasahi dengan air dan menggunakan tangan kanan serta berdoa dengan mengucapkan:

اللهم بيض أسناني، وشد به لثتي، وثبت به لهاتي، واَفْصِحْ بِهِ لِسَانِى وبارك لي فيه يا رب العالمين، برحمتك يا أرحم الراحمين

“Ya Allah, dengan siwak, putihkanlah gigiku, kuatkan gusiku, tetapkan langit-langit mulutku, fasihkan lisanku, berkahilah aku dalam bersiwak dan berikanlah pahala padaku atas bersiwak, wahai Tuhan yang paling belas kasih.”

4. Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan, secara bersamaan dengan berdoa:

اللهم إني أسألك اليمن والبركة، وأعوذ بك من الشؤم والهلكة

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebaikan dan berkah padaMu. Dan aku berlindung kepadaMu dari kejelekan dan kerusakan.”

5. Madlmadlah (Berkumur) dan istinsaq (memasukan air ke hidung).

Madlmadlah adalah memasukkan air ke dalam mulut.

Sunnah dengan menggunakan tangan kanan dan berdoa:


اللهم أعنّى على تلاوت كتابك كثرة الدكر لك وثبتنى بالقول الثابت فى الدنيا والأخرة

“Ya allah, berilah aku pertolongan agar dapat membaca kitab dan memperbanyak dzikir padamu. Dan tetapkanlah aku dengan ucapan yang tetap (Syahadat) di dunia dan akhirat."

Istinsyaq adalah memasukkan air ke hidung. Sunnah menggunakan tangan kanan serta berdoa:

اللهم أرحنى رائحة الجنة وأنت عنى راض

“Ya Allah, hirupkanlah padaku bau wangi surga, dan Engkau ridla kepadaku."

6. Melebihkan (mubalaghah) saat berkumur dan istinsaq bagi selain orang yang berpuasa. Melebihkan berkumur yaitu sekira air bisa sampai ke ujung langit-langit mulut, kedua sisi gigi dan gusi. Sedangkan dalam istinsyaq yaitu mengangkat air dengan nafas hingga sampai ke batang hidung.

7. al-Istintsar, yaitu mengeluarkan air dari hidung. Sunnah dengan menggunakan tangan kiri dengan berdoa:

اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ رَوَائِحِ النَّارِ وَسُوْءِ الدَّارِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari bebauan neraka dan kejelekan tempat tingga."

8. Mengulangi tiga kali setiap pekerjaan yang dijelaskan di atas.


Ke dua, Kesnunahan Saat Membasuh Wajah

1. Melafadzkan niat dengan mengucapkan : نَوَيْتُ الوُضُوءَ لِلصَّلَاةِاللهم

dan berdoa:

 اللهم بَيِّضْ وَجْهِي بِنُوْرِكَ يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَوْلِيَائِكَ وَﻻَتُسَوِّدْ وَجْهِي بِظُلُمَاتِكَ يَوْمَ تَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَعْدَائِكَ

“ Ya Allah cerahkanlah wajahku dengan cahayamu di hari bersinarnya wajah para kekasihmu, dan janganlah engkau suramkan wajahku dengan kegelapanmu di hari suramnya wajah para musuhmu.”

2. Memulai membasuh wajah dari bagian atas.

3. Mengambil air dengan kedua tangan secara bersamaan.

4. Meneliti al-Maq, yaitu tepi mata sebelah hidung dengan menggunakan jari telunjuk.

5. Meneliti al-lihadz, yaitu tepi mata yang satunya, juga dengan menggunakan jari telunjuk.

6. Mengusap kedua telinga karena untuk menghindari perselisihan ulama yang mengatakan bahwa kedua telinga termasuk bagian dari wajah.

7. Ithalatul Ghurrah, yaitu membasuh bagian yang melebihi batas wajah dari segala arah saat membasuh wajah.

8. Ad-Dalku, yaitu menggosokkan tangan ke anggota wudlu.

9. Menyelah-nyelahi jenggot dan jambang (godek) yang tebal dengan jari tangan kanan dari arah bawah dan menggunakan air yang baru.

10. Mengulagi semuanya hingga tiga kali.


Ke tiga, Kesunnahan Saat Membasuh Kedua Tangan

1. Memulai membasuh kedua tangan dari kedua telapak tangan jika mengalirkan air sendiri. Jika yang mengalirkan orang lain atau lewat kran maka sunnah dimulai dari sikut¹. Saat membasuh tangan kanan sunnah berdoa:


“Ya Allah, berikanlah buku catatan amalku padaku dengan tangang kananku, dan masukkanlah aku ke surga tanpa hisab.”

Dan ketika membasuh tangan kiri sunnah berdoa:


“ Ya Allah, sesungguhnya aku berrlindung padamu dari engkau berikan buku catatan amalku padaku dengan tangan kiriku atau dari belakang punggungku”

2. At-Tayamun, yaitu membasuh bagian kanan terlebih dahulu kemudian bagian kiri.

3. Menggosok tangan.

4. Menyelah-nyelahi jari tangan dengan cara apapun, namun yang paling utama adalah dengan cara at-tasybik, yaitu meletakkan jari salah satu tangan pada sela-sela jari tangan yang satunya.

5. Meratakan basuhan hingga ke seperempat lengan atas, dan yang paling sempurna hingga sampai pundak.

6. Menggerak-gerakkan cincin yang tanpa digerakkan tidak akan menghalangi masuknya air ke kulit di bawahnya. Jika cincin dapat menghalangi masuknya air ke kulit di bawahnya, maka wajib untuk digerak-gerakkan.

7. Terus menerus (muwalah) antara membasuh wajah dan membasuh tangan.

8. Mengulangi semuanya hingga tiga kali.


Ke empat, Kesunnahan Saat Mengusap Kepala

1. Mengusap seluruh bagian kepala. Sunnah meletakkan kedua ibu jari di pelipis dan mempertemukan kedua jari telunjuk. Memulai mengusap dari bagian kepala depan hingga bagian belakang, kemudian dikembalikan ke depan jika rambutnya terbalik. Jika rambutnya pendek sekali atau terlalu panjang seperti rambut wanita, tidak perlu dikembalikan ke depan lagi. Ketika mengusap sunnah berdoa:


“Ya Allah, penuhilah aku dengan rahmatmu, turunkanlah barakahmu padaku, teduhkanlah aku di bawah bayang-bayang ArsMu di hari tidak ada tempat berteduh kecuali teduhanmu, ya Allah haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka.”

2. Mengusap kedua telinga besertaan mengusap kepala. Hal ini untuk menghindari perselisihan ulama yang mengatakan bahwa telinga termasuk bagian dari kepala.

3. Terus menerus (muwalah) diantara membasuh kedua tangan dan mengusap kepala.

4. Mengulangi semuanya hingga tiga kali.


Kelima, Kesunnahan Setelah Mengusap Kepala

1. Mengusap kedua tangan dengan berdoa:


“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk darri golongan orang-orang yang mau mendengarkan ucapan kemudian mengikuti yang terbaik. Ya Allah, jadikanlah aku orang yang dapat mendengar pemanggil surgga di sana bersama orang-orang yang bagus. Dan aku berlindung padamu dari api neraka dan kejelekan tempat tinggal.”

2. Sunnah mengusap kedua telinga hingga sembilan kali.

Tiga kali pertama dengan menjalankan kedua jari telunjuk di sela-sela kedua telinga, dan kedua ibu jari di jalankan/ diusapkan pada bagian belakang telinga. Tiga kali berikutnya dengan memasukkan ujung kedua jari telunjuk ke lubang telinga. Dan tiga kali terakhir untuk memastikan ratanya usapan, yaitu dengan mengusapkan telapak tangan ke telinga. Semua usapan ini menggunakan air yang baru.

3. Sunnah mengusap leher menurut beberapa Imam, yaitu imam al-Ghazali, al-Baghawi, dan ar-Rafi'i. Sunnah menggunakan tangan kanan dengan berdoa:


“Ya Allah, bebaskanlah diriku dari api neraka. Dan aku berlindung padamu dari rantai dan belenggu neraka.”

Ke Enam, Kesunnahan Saat Membasuh Kaki¹

1. Sunnah memulai basuhan kaki dari jari jika menuangkan air sendiri. Jika yang menuangkan orang lain maka sunnah dimulai dari mata kaki. Ketika mambasuh kaki kanan sunnah berdoa:


“Ya Allah, tetapkanlah telapak kakiku di atas shiratal mustagim bersama telapak kaki hamba-hambaMu yang shaleh.”

Dan ketika membasuh kaki kiri sunnah berdoa:


“Ya Allah, aku berlindung padaMu dari tergelincirnya telapak kakiku di atas shiratal mustagim hingga masuk neraka di hari tergelincirnya kaki orang-orang munafik dan musyrik."

2. Ad-Dalku, yaitu menggosokkan tangan ke kaki.

3. Menyelah-nyelahi jari kaki dengan jari kelingking tangan kiri dari arah bawah. Dimulai dari jari kelingking kaki kanan hingga jari kelingking kaki kiri.

4. At-Tayamun, yaitu mendahulukan basuhan kaki kanan kemudian kaki kiri.

5. Al-Mubalaghah, yaitu melebih-lebihkan dalam membasuh

tumit.

6. Terus menerus (muwalah) diantara mengusap kepala dan membasuh kaki.

7. Mengulangi semuanya hingga tiga kali.²


Ke Tujuh, Kesunnahan Setelah Selesai Wudlu

1. Meminum sebagian sisa air wudlu dan juga memercikkannya ke sarung (Ketika diduga ada kotoran di sarungnya.)

2. Berdoa setelah wudlu dengan menghadap Kiblat dan mengangkat kedua tangan, sekira bagian ketiak yang putih bisa terlihat. Bacaan doanya adalah:


“Aku bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah, Hanya Allah semata tidak ada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan RasulNya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk dari orang-orang yang bertaubat. Jadikanlah aku termasuk dari orang-orang yang suci. Dan jadikanlah aku termasuk dari hamba-hambaMu yang shaleh.”

3. Membaca surat al-Qadr tiga kali, ayat Kursi dan al-Ikhlas.

4. Shalat sunnah wudlu. Yaitu shalat yang dilakukan setelah selesai wudlu, sekira dianggap shalat yang dinisbatkan ke wudlu. Saat shalat, sunnah membaca surat al-Kafirun dan al-Ikhlas. Shalat sunnah wudlu bisa digabungkan dengan shalat yang lain, dengan cara diniati kedua-duanya.


Ke Delapan, Kesunnahan-Kesunnahan Umum di Dalam Wudlu

1. Menghadap Kiblat.

2. Wudlu dengan posisi duduk.

3. Tidak mengibas-ngibaskan air.

4. Tidak berlebihan dalam menggunakan air.

5. Tidak berbicara saat wudlu.

6. Meletakkan tempat air yang diciduk di sebelah kanan, sedangkan tempat air yang dituangkan seperti kendi di sebelah kiri.

7. Terus menerus(muwalah), sekira basuhan anggota kedua dilakukan sebelum keringnya anggota sebelumnya, beserta normalnya angin, hawa dan zaman.

8. Tidak menamparkan air ke muka.

9. Menghindari percikan air dari bawah, dengan duduk di tempat yang aman dari percikan air dari bawah.

10.Tidak meminta tolong untuk membasuh atau menuangkan air ke anggota badan, kecuali ketika ada udzur.

11, Tidak meyeka air dengan semacam handuk kecuali ada udzur.

12 Tidak melebihi tiga kali di setiap pekerjaan di dalam wudlu.

13. Air yang digunakan wudlu tidak kurang dari satu mud

14. Menghadirkan wudlu di dalam hati hingga selesai.

Sunnah melakukan wudlu karena hendak tidur, membaca Al-Qur'an, menghadiri majlis ilmu dan dzikir, ziarah gubur, dan karena menjaga selalu dalam keadaan suci. Sunnah mengulangi wudlu meskipun wudlu sebelumnya tidak batal. Setiap mengalami hadats sunnah untuk melakukan wudlu.


SYARAT- SYARAT WUDHU 

Syarat wudlu ada lima belas, yaitu:

1. Islam, maka tidak sah wudlunya orang kafir, karena sesungguhnya wudlu adalah ibadah yang membutuhkan niat, sedangkan orang kafir bukan ahli niat.

2. Tamyiz, maka tidak sah wudlunya orang tidak tamyiz, karena sesungguhnya wudlu adalah ibadah yang membutuhkan niat, sedangkan diantara syarat-syarat niat adalah orang yang niat harus tamyiz.

3. Bersih dari haidl dan nifas.

4. Bersih dari perkara yang bisa mencegah sampainya air ke kulit. Sekiranya tidak ada jirim (benda) yang dapat mencegah sampainya air ke kulit. Maka wajib menghilangkan kotoran-kotoran yang berada di bawah kuku¹, kotoran di sela-sela mata, dan hal-hal lain yang bisa mencegah sampainya air ke kulit.

5. Pada aggota yang dibasuh atau diusap tidak ada sesuatu yang bisa merubah kemutlakkan air, semisal tinta atau sabun.

6. Mengerti akan kefardluan wudlu. Yaitu bagi orang yang hendak wudlu harus mengetahui bahwa wudlu adalah fardlu.

7. Tidak meyakini bahwa salah satu dari fardlunya wudlu adalah sunnah. Dalam hal ini terdapat beberapa keadaan:

a. Orang yang wudlu menyakini bahwa semua pekerjaan dalam wudlu adalah fadlu. Kalau demikian, wudlunya adalah sah.

b. Orang yang wudlu meyakini bahwa semua pekerjaan dalam wudlu adalah sunnah. Kalau demikian, wudlunya tidak sah.

c. Orang yang wudlu meyakini bahwa di dalam wudlu terdapat pekerjaan yang fardlu dan ada yang sunnah tanpa membedakan diantara keduanya. Kalau demikian, terdapat perincian:

» Jika yang wudlu termasuk orang awam, maka ulama sepakat bahwa wudlunya sah.

» Jika orang yang wudlu termasuk orang alim², menurut Ibnu Hajar wudlunya sah. Sedangkan menurut ar-Ramli tidak sah.

d. Jika orang yang wudlu mengatakan: “Sesungguhnya salah satu dari mengusap kepala dan membasuh kaki adalah sunnah.” Tanpa menentukan yang mana, maka hukum wudlunya sah, karena sesungguhnya ia tidak menyakini bahwa kefardluan yang tertentu adalah sunnah.

8. Air suci mensucikan. Karena sesungguhnya hadats tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air suci mensucikan yang mutlag, sebagaimana penjelasan yang telah lewat.

9. Menghilangkan najis ainiyah. Jika najis ainiyah ini tidak dapat hilang dengan sekali basuhan, maka ulama sepakat harus dilakukan dua basuhan. Sedangkan jika dapat hilang dengan sekali basuhan, menurut Imam ar-Rafi'i tetap harus dilakukan dua basuhan, satu basuhan untuk menghilangkan najis dan satunya untuk menghilangkan najis. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shafwatu az-Zubad:

“Dan Imam Rafi'i menghitung menghilangkan najis temasuk dari syarat wudlu.

Sedangkan menurut imam an-Nawawi cukup satu basuhan untuk menghilangkan hadats dan najis. Dan ini adalah pendapat yang kuat (mu'tamad).

9. Mengalirkan air pada seluruh anggota yang dibasuh, dengan artian air mengalir sesuai tabiatnya. Tidak cukup hanya mengusap anggota yang wajib dibasuh dengan kain basah atau salju.

10. Memastikan adanya sesuatu yang menuntut untuk melakukan wudlu sehingga dapat melakukan niat dengan mantap. Jika melakukan wudlu dalam keadaan ragu-ragu, apakah ia berhadats ataukah tidak, maka hukum wudlunya tidak sah kalau ternyata ia tidak punya wudlu. Karena tidak ada kepastian wujudnya sesuatu yang menuntut untuk melakukan wudlu, sehingga tidak mantap ketika niat.

12. Tidak terputusnya niat secara hukum. Yaitu tidak melakukan sesuatu yang dapat membatalkan niat, seperti murtad. Dan tidak memalingkan niat pada selain wudlu.

13. Masuknya waktu dan terus menerus (muwalah) bagi orang yang selalu berhadats, seperti orang beser kencing, madzi dan wanita mustahadlah.

14. Tidak menggantungkan niat, sebagaimana keterangan syarat-syarat niat yang telah dijelaskan. Penyusun Shafwatul az-Zubad berkata:

“Wudlu' mempunyai lima syarat, suci mensucikannya air, orang yang wudlu adalah orang tamyiz dan Islam.”

Tidak ada sesuai yang mencega sampainya air ke anggota yang dibasuh”.

“Sudah masuk waktu shalat bagi orang yang selalu berhadats, Dan imam ar-Rafi'i juga memasukkan menghilangkan najis sebagai syarat.”

Permasalahan Saat Ragu Apakah Sedang Hadats atau Suci

1. Jika ada orang yang meragukan kesuciannya dan telah yakin bahwa ia telah berhadats, atau ragu akan hadatsnya dan yakin akan kesuciannya, bagaimanakah hukumnya?

Jawab: Gambaran permasalahan di atas adalah ketika hendak melakukan shAlat, ia kemudian ragu-ragu apakah ia hadats ataukah tidak? Jika ia yaKin telah hadats, semisal ia telah buang hajat di jamban, agak lama kemudian ragu-ragu apakah tadi sudah wudlu apa belum, maka ia dihukumi berhadats, sebab itulah yang diyakini. Begitu juga bila ia yakin telah bersuci, agak lama kemudian ia ragu-ragu apakah wudlunya batal apa belum, maka ia dihukumi suci, karena itulah yang dapat diyakini. Sehingga standar penetapan hukumnya adalah mengambil yang diyakini. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shafwatul az-Zubad:

dan beserta yakin telah hadats atau suci."

“Ketika datang keraguan atas kebalikan keduanya, maka amalkan keyakinannya,

2. Ketika seseorang yakin telah bersuci dan juga yakin telah hadats, namun masih ragu-ragu mana yang lebih dahulu dari keduanya, bagaimanakah hukumnya?

Jawab: Gambaran permasalah ini adalah semisal setelah terbitnya Matahari ia yakin telah berhadats sekaligus bersuci, namun yang masih diragukan apakah ia hadats terlebih dahulu kemudian bersuci ataukah sebaliknya?

Maka hukumnya ia mengambil keadaan yang berbalik dengan keadaan sebelum terbitnya Matahari. Jika sebelum terbitnya matahari ia dalam keadan hadats, maka sekarang ia di hukumi suci, karena sesungguhnya hukum asalnya adalah tetapnya hadats tersebut, kemudian hilang dengan bersuci setelahnya. Dan jika sebelum terbitnya Matahari kebiasaannya selalu memperbaruhi sesuci, maka sekarang ia dihukumi hadats. Jika tidak memiliki kebiasaan demikian, maka sekarang ia dihukumi suci. Dan jika tidak mengetahui keadaan sebelum terbitnya Matahari, maka sekarang ia dihukumi hadats dan wajib melakukan wudlu. Namun yang lebih utama adalah melakukan sesuatu yang menyebabkan hadats terlebih dahulu kemudian wudlu, agar benar-nar yakin akan kesuciannya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shafwatu az-Zubad:

Dan ketika tidak diketahui yang terlebih dahulu"

"Maka ambillah kebalikan hukum yang sebelum sesuatu yang diyakini, sekira tidak mengetahui hukum apapun, maka wudlu hukumya wajib.”

PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN WUDLU

Pengertian Nawaqidi

Lafadl nawagidl adalah bentuk jama' dari lafadl naqidl yang mempurnyai arti sesuatu yang menghilangkan sesuatu secara totalitas/ sampai akarnya. Sedangkan yang dimaksud mawaqidl di sini adalah sebab-sebab yang menetapkan hilangnya wudlu. Mawaqidl ada empat.

Pertama, sesuatu yang keluar dari dua jalan, yaitu jalan depan dan belakang, kentut atau yang lain, biasa keluar atau tidak, basah atapun kering, kecuali seperma.

Permasalahan Sperma Yang Tidak Membatalkan Wudlu'

Kenapa sperma tidak membatalkan wudlu?

Jawab: Karena sperma mewajibkan perkara yang lebih besar/ berat daripada wudlu, yaitu mandi besar, sehingga tidak lagi mewajibkan wudlu, berdasarkan Kaedah Fiqih:

“Setiap seuatu yang mewajibkan perkara yang lebih besar /berat diantara dua perkara ditinjau dari kekhususannya, maka tidak lagi mewajibkan yang lebih rendah ditinjau dari keumumannya.”

Seperti keluar sperma. Sesungguhnya keluarnya sperma mewajibkan sesuatu yang lebih besar/ berat diantara dua perkara, yaitu mandi besar ditinjau dari kekhususan berupa Sperma. Sehingga tidak lagi mewajibkan yang lebih rendah ringan, yaitu wudlu ditinjau dari keumuman bahwa sperma termasuk sesuatu yang keluar dari kemaluan. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shafwatul az-Zubad:

“Yang mewajibkan wudlu adalah sesuatu yang keluar dari dua jalan, selain sperma yang telah mewajibkan mandi besar."


Ke dua, hilangnya akal sebab tidur atau yang lainnya, kecuali tidurnya orang duduk yang menetapkan pantatnya pada lantai dan sejenisnya. Hukum batal tersebut baik hilangnya akal karena kecerobohan ataupun tidak. Baik sebab tidur, gila, epilepsi/pingsan, mabuk atau sejenisnya.

Syarat-syarat tidur yang tidak membatalkan wudlu ada empat :

1. Tidur dengan posisi menetapkan pantat pada lantai.

Dengan arti lubang pantatnya menempel ke lantai sekira tidak memungkinkan keluarnya kentut.

2. Postur tubuhnya sedang, tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus. ketika bangun tetap dalam posisi saat tidur.

4. Menurut ar-Ramli tidak ada orang ma'sum yang memberitahu bahwa ia kentut ketika tidur. Sedangkan menurut Ibnu Hajar sudah dianggap cukup jika yang memberitahu adalah orang adil.

Ke tiga, bersentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan dewasa dan bukan mahram tanpa ada penghalang.

Syarat batalnya wudlu sebab bersentuhan kulit lawan jenis ada lima:

1. Yang bersentuhan adalah bagian kulit, sehingga tidak memasukkan gigi, kuku dan rambut.

2. Lawan jenis. Maka tidak batal sebab bersentuhannya dua laki-laki atau dua perempuan, begitu pula khuntsa (banci asli).

3, Keduanya sudah dewasa, yaitu telah mencapai batasan dewasa secara urf (tradisi). Sekira kalau ada orang yang memiliki akal sehat melihatnya niscaya ingin menikahinya, meskipun keduanya belum baligh dengan salah satu tanda-tanda baligh yang ada tiga.

4. Tidak ada ikatan mahram diantara keduanya.¹

5. Tidak ada penghalang diantara dua kulit yang bersentuhan.

Permasalahan-Permasalahan Terkait dengan Persentuhan Lawan Jenis

1. Menyentuh anggota yang terpisah dari badan. Jika anggota yang terpisah dari badan adalah anggota di atas separuh badan (di atas pusar) seperti tangan, menurut Ibnu Hajar menyentuhnya dapat membatalkan wudlu secara mutlak. Sedangkan menurut ar-Ramli hukum menyentuhnya dapat membatalkan jika nama anggota tersebut masih tetap, sekira masih layak disebut perempuan atau laki-laki.

2. Jika ada orang yang memberitahu bahwa wudlunya batal, menurut imam Ramli hukum wudlunya orang yang diberitahu menjadi batal, jika yang memberitahu adalah orang ma'sum. Sedangkan menurut Ibnu Hajar sudah bisa membatalkan jika yang memberitahu adalah orang adil.

Ke empat, menyentuh kelamin atau lingkaran dubur anak Adam dengan telapak tangan atau bagian dalam jari tangan, Dalam hal ini yang dihukumi batal adalah wudlu orang yang menyentuh tidak yang disentuh. Menyentuh sebagian dari kelamin atau dubur yang terputus dari badan dapat membatalkan wudlu jika memang status namanya masih tetap.

Yang dikehendaki bagian kelamin yang membatalkan adalah batang penis tanpa memasukkan dua buah pelir dan bulu kemaluan, ini pada laki-laki. Sedangkan pada perempuan adalah dua bibir vagina yang bertemu saat menutup, tanpa memasukkan bagian diantara keduanya.

Lingkaran dubur adalah tempat bertemunya jalan keluarnya kotoran tanpa memasukkan lipat-lipatannya.

Bagian dalam telapak tangan atau bagian dalam jari tangan adalah bagian yang tertutup ketika menempelkan salah satunya pada telapak tangan yang satunya lagi dengan agak menekan sedikit.

Perbedaan antara Lamsu dengan Massu



Berbagi

Posting Komentar