KELUAR RUMAH SAAT DALAM MASA IDDAH
a. Deskripsi Masalah
Salah satu ketentuan bagi perempuan yang menjalani masa iddah karena ditinggal wafat oleh suaminya adalah kewajiban untuk menetap di rumah selama masa tersebut.
Dalam kasus ini, terdapat seorang wanita bernama Ibu Arnati yang baru saja berduka atas meninggalnya sang suami. Ia merupakan pedagang dengan banyak pelanggan tetap. Jika ia tidak berdagang dan tetap berada di rumah, besar kemungkinan para pelanggannya akan beralih ke penjual lain. Sementara itu, hasil dari berdagang merupakan satu-satunya sumber nafkah bagi dirinya dan keluarganya.
b. Pertanyaan
Apakah seorang wanita yang sedang dalam masa iddah boleh keluar rumah untuk berdagang, mengingat kondisinya seperti di atas?
c. Jawaban
Diperbolehkan, karena alasan tersebut termasuk dalam kategori hajat (kebutuhan mendesak), yang memberikan kelonggaran untuk keluar rumah dalam masa iddah.
قِيلَ وَلَهَا الخُرُوجُ فِي عِدَّةِ وَفَاةٍ وَكَذَا بَائِنٍ فِي النَّهَارِ لِشِرَاءِ طَعَامٍ وَغَزْلٍ وَنَحْوِهِ ـ إِلَى أَنْ قَالَ: وَضَابِطُ ذَلِكَ كُلُّ مُعْتَدَّةٍ لَا تَجِبُ نَفَقَتُهَا وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مَنْ يَقُومُ بِحَاجَتِهَا اهـ (مُغْنِي المُحْتَاجِ، ٣/٣٠٤)
Telah dikatakan: Boleh bagi wanita yang dalam masa ‘iddah wafat suaminya, atau yang ditalak ba'in, keluar pada siang hari untuk membeli makanan, memintal benang, dan semisalnya—hingga beliau mengatakan: “Patokan dari hal itu adalah setiap wanita dalam masa ‘iddah yang tidak wajib dinafkahi dan tidak ada orang yang mencukupi kebutuhannya.” (Mughnī al-Muḥtāj, 3/304)
يَجِبُ عَلَى المُعْتَدَّةِ مُلَازَمَةُ مَسْكَنِ العِدَّةِ، فَلَا يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَخْرُجَ مِنْهُ وَلَا إِخْرَاجُهَا إِلَّا لِعُذْرٍ اهـ (كَفَايَةُ الأَخْيَارِ، ٢/١٣٦)
Wajib bagi wanita dalam masa ‘iddah untuk tetap tinggal di tempat tinggal ‘iddahnya. Maka tidak boleh baginya keluar darinya atau dikeluarkan kecuali karena uzur.(Kifāyatu al-Akhyār, 2/136)
وَتَجِبُ عَلَى المُعْتَدَّةِ بِالوَفَاةِ وَطَلَاقٍ بَائِنٍ أَوْفَسْخٍ مُلَازَمَةُ مَسْكَنٍ كَانَتْ فِيهِ عِنْدَ المَوْتِ أَوِ الفُرْقَةِ إِلَى انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا، وَلَهَا الخُرُوجُ نَهَارًا لِشِرَاءِ نَحْوِ طَعَامٍ وَبَيْعِ غَزْلٍ وَلِنَحْوِ اجْتِنَابٍ، وَضَابِطُ مَنْ يَجُوزُ لَهَا لِمَا ذُكِرَ الخُرُوجُ وَمَنْ لَا يَجُوزُ لَهَا ذَلِكَ كُلُّ مُعْتَدَّةٍ لَا تَجِبُ نَفَقَتُهَا مِنْ زَوْجِيَّةٍ أَوْ بَائِنٍ حَامِلٍ أَوْ مُسْتَرِءَةٍ فَلَا تَخْرُجُ إِلَّا بِإِذْنٍ أَوْ ضَرُورَةٍ كَالزَّوْجَةِ الَّاتِي هُنَّ مُكَلَّفَاتٌ بِالنَّفَقَةِ اهـ (إِعَانَةُ الطَّالِبِينَ، ٤/٤٥ ـ ٤٤٦)
Dan wajib atas wanita yang dalam masa ‘iddah karena wafat suami, talak ba'in, atau fasakh untuk tetap tinggal di rumah tempat ia berada saat wafat atau perpisahan sampai habis masa ‘iddahnya. Namun boleh baginya keluar di siang hari untuk membeli makanan, menjual pintalan benang, atau keperluan serupa, atau untuk menghindari gangguan. Patokan siapa yang boleh keluar untuk keperluan itu dan siapa yang tidak boleh adalah: setiap wanita dalam masa ‘iddah yang tidak wajib dinafkahi, seperti karena bukan istri (resmi), atau talak ba'in dan sedang hamil, atau wanita mandiri. Maka tidak boleh keluar kecuali dengan izin atau karena darurat, seperti istri yang wajib dinafkahi. (I‘ānatu aṭ-Ṭālibīn, 4/445–446)