a. Deskripsi Masalah
Beredar dimedia sosial, seorang lelaki melakukan tindak kekerasan yang berujung pada kematian terhadap istrinya dan seorang pria, setelah memergoki keduanya dalam situasi yang diduga sebagai perselingkuhan. Peristiwa ini terjadi dalam kondisi emosi yang memuncak, yang menyebabkan pelaku bertindak di luar kendali.
b. Pertanyaan
1. Apakah bisa dibenarkan tindakan Suami tersebut?
2. Kalau tidak dibenarkan, lalu langkah apakah yang semestinya di ambil oleh Suami tersebut?
c. Jawaban
1. Tidak dapat dibenarkan.
2. Menghentikan perbuatan keduanya tanpa harus membunuh. Jika upaya menghentikan keduanya tidak berpengaruh, maka suami boleh melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
d. Rujukan
معنى المحتاج إلى معرفة الفاظ المنهاج. ص. ١٩٦ - ١٩٧
(وَيُدْفَعُ الصَّائِلُ بِالْأَخَفِّ) فَالْأَخَفِّ إِنْ أَمْكَنَ، وَالْمُعْتَبَرُ غَلَبَةُ الظَّنِّ (فَإِنْ أَمْكَنَ) دَفْعُهُ (بِكَلَامٍ وَاسْتِغَاثَةٍ) - بِغَيْنٍ مُعْجَمَةٍ وَمُثَلَّثَةٍ - بِالنَّاسِ (حَرُمَ الضَّرْبُ) أَيْ الدَّفْعُ بِهِ (أَوْ) أَمْكَنَ دَفْعُهُ (بِضَرْبٍ بِيَدٍ حَرُمَ سَوْطٌ، أَوْ) أَمْكَنَ دَفْعُهُ (بِسَوْطٍ حَرُمَ عَصًا، أَوْ) أَمْكَنَ دَفْعُهُ (بِقَطْعِ عُضْوٍ حَرُمَ قَتْلٌ) لِأَنَّ ذَلِكَ جُوِّزَ لِلضَّرُورَةِ، وَلَا ضَرُورَةَ فِي الْأَثْقَلِ مَعَ إِمْكَانِ تَحْصِيلِ الْمَقْصُودِ بِالْأَسْهَلِ، وَلَوِ انْدَفَعَ شَرُّهُ كَأَنْ وَقَعَ فِي مَاءٍ أَوْ نَارٍ، أَوْ انْكَسَرَتْ رِجْلُهُ، أَوْ حَالَ بَيْنَهُمَا جِدَارٌ أَوْ خَنْدَقٌ لَمْ يَضْرِبْهُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ فِي الرَّوْضَةِ. وَفَائِدَةُ التَّرْتِيبِ الْمَذْكُورِ أَنَّهُ مَتَى خَالَفَ وَعَدَلَ إِلَى رُتْبَةٍ مَعَ إِمْكَانِ الِاكْتِفَاءِ بِمَا دُونَهَا ضَمِنَ. وَيُسْتَثْنَى مِنْ مُرَاعَاةِ التَّرْتِيبِ مَسَائِلُ - إلى أن قال - الرابعة: إذا رآه يولج في أجنبية فله أن يبدأ بالقتل، وإن اندفع بدونه فإنه في كل لحظة مواقع لا يستدرك بالأناة كذا قاله الماوردي والروياني وهو مردود لقول الشيخين في الروضة وأصلها: إذا وجد رجلا يزني بامرأته أو غيرها لزمه منعه ودفعه، فإن هلك في الدفع فلا شئ عليه، وإن اندفع بضرب ونحوه ثم قتله لزمه القصاص إن لم يكن الزاني محصنا
(Penyerang yang menyerobot) ditolak dengan cara yang paling ringan, jika memungkinkan. Patokan yang digunakan adalah dugaan kuat. Jika memungkinkan menolaknya dengan ucapan dan permintaan tolong — istighāthah, ditulis dengan ghain dan huruf tsā' (ث) — kepada orang lain, maka haram menggunakan pukulan. Jika bisa ditolak dengan pukulan tangan, maka haram menggunakan cambuk. Jika bisa ditolak dengan cambuk, maka haram menggunakan tongkat. Jika bisa ditolak dengan memotong anggota tubuh, maka haram membunuh. Karena semua itu hanya dibolehkan dalam keadaan darurat, dan tidak ada darurat jika tujuan dapat dicapai dengan cara yang lebih ringan.
Bahkan jika bahayanya telah hilang, seperti ia jatuh ke air atau api, atau kakinya patah, atau terhalang tembok atau parit, maka tidak boleh lagi dipukul, sebagaimana ditegaskan dalam kitab ar-Raudhah
Manfaat dari urutan ini adalah bahwa siapa pun yang menyimpang dari urutan tersebut dan langsung menggunakan tingkatan yang lebih berat padahal masih bisa cukup dengan yang lebih ringan, maka ia wajib mengganti kerugian (bertanggung jawab). Namun, ada beberapa masalah yang dikecualikan dari keharusan mengikuti urutan ini.
- Hingga penukis berkata - Masalah keempat: Jika seseorang melihat orang lain sedang melakukan penetrasi (hubungan seksual) dengan perempuan asing, maka menurut pendapat al-Māwardī dan ar-Ruyānī, ia boleh langsung memulai dengan membunuh. Karena pada setiap detiknya ia sedang melakukan perbuatan yang tidak bisa dihapus dengan menunggu.
Namun, pendapat ini tertolak oleh pendapat dua imam besar dalam ar-Raudhah dan kitab induknya, yang mengatakan:
Jika seseorang mendapati seorang laki-laki berzina dengan istrinya atau perempuan lain, maka ia wajib mencegah dan menolaknya.
Jika si pezina terbunuh dalam proses pencegahan tersebut, tidak ada dosa atau tanggungan (tidak wajib qishash atau diyat) atas pelaku pencegahan.
Namun, jika si pezina sudah berhasil dicegah dengan pukulan atau cara lain, lalu setelah itu ia tetap dibunuh, maka pelaku pembunuhan wajib dikenai qishash, selama si pezina bukan muhshan (yakni belum menikah secara sah sebelumnya).