Hukum Menabur Uang Saat Pembacaan Solawat Nabi
Deskripsi Masalah
Sudah menjadi tradisi di daerah kami, ketika memperingati maulid Nabi Muhammad banyak kalangan aghniya' (kaya) memanfaatkan momen tersebut untuk bersedekah dengan cara menyebar atau melempar uang pada saat pembacaan Salawat Nabi (srakalan), sehingga konsentrasi pembacaan Solawat beralih pada rebutan uang tersebut. Melihat antusiasme masyarakat dalam ritual tersebut, akhirnya budaya ini berkembang tidak hanya dalam peringatan Maulid Nabi, tetapi juga dalam peringatan lain yang di dalamnya terdapat pembacaan Solawat, baik dilakukan di masjid, musholla maupun di rumah-rumah.
Pertanyaan
a. Bagaimana hukum bersedekah dengan cara disebar / dilempar tersebut?
b. Bagaimana hukum menyebar uang di tengah-tengah pembacaan Solawat Nabi (srakalan)?
c. Bagaimana hukum menyebar uang tersebut, bila dilakukan di dalam masjid?
Jawaban
a. Bersedekah dengan cara menyebar/ melempar uang diperbolehkan, akan tetapi apabila sedekah dengan cara itu malah menimbulkan hal-hal yang kurang baik seperti saling berebut, ketidak-samaan dalam mendapatkan sedekah bahkan sampai mengabaikan muru 'ah, maka lebih baik cara sedekah semacam itu dihindari.
b. Boleh, asalkan tidak sampai menimbulkan hal-hal di atas dan juga tidak malah terkesan menodai tujuan maulid.
c. Mengingat tempatnya yaitu masjid dan berebut uang sedekah justru menjadikan konsentrasi sebagian yang hadir tidak menghiraukan kemuliaan masjid, maka sedekah dengan cara menyebar uang di dalam masjid tidak perlu dilakukan apalagi dilestarikan.
Dasar Pengambilan Hukum
a. Al-Hawi fi Fiqh asy-Syafi'i, TX/565:
Masalah: Asy-Syaff'i berkata: “Menyebar kacang-kacangan, biji cokelat dan gula dalam pernikahan, jika ditinggalkan maka lebih aku sukai, karena barang-barang itu diambil dengan cara menyelubung, dan menjarah, namun tidak jelas keharamannya, kecuali sebagian orang mengalahkan sebagian yang lain, lalu mengambilnya dari orang lain yang disenanginya.” Al-Mawardi berkata: “Adapun menyebar gula dan biji cokelat pada pernikahan atau lainnya dari minyak wangi atau dirham-dirham, maka hukumnya mubah menurut ijma' karena mempertimbangkan urf yang berlaku, karena hadits yang diriwayatkan bahwa ketika menikahkan Ali dengan Fathimah Nabi & menyebarkan sesuatu kepada keduanya, tetapi Fuqaha berbeda pendapat mengenai kesunnahan dan kemakruhannya.” Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa tradisi itu disunnahkan dan mengerjakannya lebih utama daripada meninggalkannya, karena hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi & ditanya tentang tradisi menyebarkan sesuatu, lalu beliau bersabda: “Tradisi itu adalah pemberian yang diberkati”. Sebagian Ashab kita berkata: “Tradisi itu mubah, tidak disunnahkan, tidak makruh, dikerjakan dan ditinggalkan hukumnya sama”.
Para Ashab kita yang lain, yaitu menurut lahiriah mazhab asy-Syafi'i menyatakan: “Tradisi itu hukumnya makruh dan meninggalkannya lebih utama daripada mengerjakannya, karena beberapa alasan. Pertama, tradisi itu kadang memicu saling jarah dan saling berbantahan di antara orang, sehingga perbuatan yang mendatangkannya hukumnya makruh. Kedua, kadang perolehan orang tidak rata, terkadang sebagian orang memperoleh lebih banyak, dan tidak ada sedikitpun yang diperoleh orang lain, lalu mereka saling berbangga diri.
Ketiga, terkadang orang berpolemik sampai menggugurkan muruah jika mereka mengambil, atau orang safih menguasainya jika mereka tidak melakukannya, padahal sahabat dan orang yang semasa dengan Rasul :& lebih menjaga muruah dan lebih menjauhi perselisihan serta saling berbangga diri, karena itu maka tradisi itu dimakruhkan setelah masa mereka, meskipun tidak dimakruhkan pada masa mereka. Adapun kebiasaan ahli muruah pada masa kita membagi barang-barang yang disebarkan itu kepada orang yang menghendaki, atau membawanya ke rumah-rumah mereka.”
b. Al-Majmu' XVI/395, (al-Maktabah as-Salafiyah)
Mushannif berkata dalam al-Bahr: Nutsar dengan membaca dhummah nun dan kasrahnya adalah perkara yang disebar dalam pernikahan atau lainnya yang diperbolehkan, karena tidak menyebarnya kecuali ibahah dan sungguh dimakruhkan karena menafikan muruah dan ketenangan.
Dan sungguh asy-Syafi'i berkata mengenai menyebar gula, biji cokelat dan kacang-kacangan, apabila ditinggalkan maka lebih menyenangkan padaku karena hal itu diambil dengan menahan dan menjarahnya dan tidak jelas bagiku bahwa hal itu diharamkan. Kesimpulannya, sungguh menyebar gula, biji cokelat, kacang-kacangan, anggur, dirham, dinar dan lain-lain itu dimakruhkan. Dan diriwayatkan sungguh abu Mas'ud al-Anshari (saat ia menyebar pada anak kecilnya maka ia mencegah anaknya dari mengumpulkannya, dengan ini Ath', Ikrimah, Ibn Sirin dan Ibn Abi Laila berpendapat).
c. Al-Mausu'ah al- Yusufiyah, 404-405:
Asy-Syaikh al-Islam Ibn Hajar al-Asqalani-Rahimahu Allah Ta'ala- berkata: “Hukum asal amal maulid adalah bid'ah yang tidak dinukil dari seorang salaf shalih sejak tiga kurun, akan tetapi bid'ah tersebut bersama hal itu sungguh mencakup pada kebagusan-kebagusan dan sebaliknya. Barang siapa meneliti amalnya pada kebagusan dan membela sebaliknya maka merupakan bid'ah hasanah, jika tidak meneliti maka tidak bid'ah hasanah.” Dan bagiku sungguh mengeluarkannya telah jelas pada asal yang tetap dalam dua kitab Shahih bahwa sungguh Nabi # mendahulukan Madinah lalu menemui Yahudi yang menjalankan puasa pada hari Asyura lalu beliau menanyai mereka, lalu mereka berkata: “Ini adalah hari dimana Allah menenggelamkan Fir'aun pada hari itu dan Musa selamat, Sehingga kita puasa sebab bersyukur pada Allah SWT”. Kemudian diambil faidah darinya, bersyukur kepada Allah atas anugerah yang diberikan padanya di hari itu, yaitu datangnya nikmat atau tertolaknya keburukan. Dan hal itu diulangi pada hari yang bertepatan dengannya setiap tahun. Adapun bersyukur kepada Allah bisa dihasilkan dengan bermacam-macam ibadah seperti sujud, puasa, sedekah, dan membaca al-Our'an. Adakah nikmat yang lebih besar daripada nikmat hadirnya Nabi yang membawa rahmat pada hari itu?
Berdasar hal itu, sebaiknya perayaan maulid Nabi dicukupkan dengan kegiatan yang mencerminkan rasa syukur kepada Allah SWT , semisal membaca al-Our an, memberi makan, mendendangkan sesuatu dari puji-pujian nabawi yang memotivasi hati untuk melakukan perbuatan baik dan amal akhirat. Adapun kegiatan yang diikutkan padanya seperti mendengar nyanyian, gurauan dan lain-lain, maka sebaiknya dikatakan:
kegiatan yang mubah sekira menunjukkan kebahagiaan pada hari itu maka tidak masalah disertakan pada perayaan itu, sedangkan kegiatan yang haram atau makruh maka dicegah. Begitu juga yang khilaf al-aula.
d. Nail al-Authar, II/190: