Hukum Membakar Al-Qur'an yang Rusak
Pertanyaan
Apakah benar pendapat yang mengatakan bahwa mushaf yang sudah rusak (tidak mungkin dibaca) boleh dibakar, lalu abunya dilarutkan ke sungai yang mengalir ke laut dengan maksud untuk menjaga?
Jawaban
Benar/boleh, membakar al-Our'an, bahkan sunnah apabila dengan maksud menjaga kemuliaan al-Our'an, dan terkadang wajib apabila tidak ada jalan lain untuk memeliharanya. Sedangkan melarutkan abunya ke sungai yang mengalir ke laut hukumnya boleh, sebagai hukum Al-Qur'an nya sudah tidak ada.
Dasar Pengambilan Hukum
a. Tuhfah al-Muhtaj dalam Syarh al-Minhaj, 1/155-156:
Dimakruhkan membakar sesuatu yang ditulisi Al-Qur'an kecuali karena tujuan semisal menjaga kehormatannya. Termasuk di antaranya adalah tindakan Sayyidina Utsman yang membakar beberapa mushaf. Sedangkan membasuh (dengan air) itu lebih utama daripada membakarnya menurut pendapat aujah. Bahkan keterangan Syaikhaini dalam bab perang jelas menyatakan keharaman membakarnya. Kecuali hal itu diarahkan bahwa keharaman itu dari sisi menyi-nyiakan harta. Lalu bila kamu berpendapat, telah lewat keterangannya bahwa mengkhawatirkan terbakarnya mushaf mengharuskan membawanya dalam keadaan hadats dan untuk dijadikan bantal. Dan ini menentukan keharaman membakarnya secara mutlak.
Maka aku menjawab, “Hal itu (dalam keterangan yang telah lewat) digambarkan terjadi pada mushaf”. Dan di sini terjadi pada sesuatu yang ditulisi al-Qur'an yang tidak untuk dirasah (nderes) atau untuk dirasah akan tetapi sudah rusak. Yaitu hal-hal yang bisa digambarkan tujuan semacam penjagaan. Sedangkan pada sudut pandang menyia-nyiakan harta itu adalah sesuatu yang umum tidak khusus terjadi dalam pembakaran ini.
Akan tetapi menyia-nyiakan harta itu diperbolehkan karena ada tujuan yang dimaksud. (Ungkapan pengarang: sesuatu yang ditulisi dan seterusnya) artinya misalnya berupa kayu (kitab Nihayah dan Mughni). Kertas pun juga demikian (kitab Oulyubi). (Ungkapan pengarang: kecuali karena tujuan semisal menjaga kehormatannya) artinya maka demikian itu tidak makruh.
Bahkan terkadang menjadi wajib ketika itu satu-satunya cara menjaganya. Dan seyogyanya (hukum) itu juga berlaku pada kulit (pembungkus) mushaf. (Ali Syibramalisi). (Ungkapan pengarang: membasuh (melebur dengan air) itu lebih utama) artinya ketika hal itu mudah terlaksana dan tidak khawatir air bekas basuhannya jatuh ke bumi. Bila tidak bisa seperti itu, maka membakarnya itu lebih utama (Imam al-Bujairami). Ibarah Imam al-Bashri: Syekh Izzuddin menyatakan bahwa cara penjagaannya adalah membasuhnya dengan air atau membakarnya dengan api. Sebagian ulama menyatakan sesungguhnya membakarnya itu lebih utama. Karena air bekas basuhan terkadang jatuh ke bumi (Ibnu Syuhbah).
b. Hasyiyah al-Bujairami “ala al-Khathib, 1/ 550:
(Ungkapan pengarang: kepadanya diarahkan tindakan pembakaran Sayyidina Utsman ....) Imam Ibnu Abdi Salam berkata: “Barang siapa menemukan kertas yang di dalamnya terdapat tulisan basmalah dan semacamnya maka tidak boleh meletakkannya di sebuah celah atau lainnya. Karena bisa saja akan terjatuh dan terinjak. Dan jalan keluarnya adalah membasuhnya (melebur) dengan air atau membakarnya dengan api untuk menjaga asma Allah dari terjadinya kehinaan.” (Kitab Syarah ar-RaudI). Dan ketika mudah untuk membasuhnya (meleburnya) dan tidak khawatir terjatuhnya bekas basuhan ke atas bumi, maka hal itu lebih utama. Jika tidak demikian, maka membakarnya lebih utama. Dan tidak boleh merobek-robek kertas (yang bertuliskan al-Our'an) karena hal itu akan mengakibatkan terjadinya potongan-potongan huruf al-Our'an dan memisahkan kalimat-kalimat al-Our'an. Dan itu berarti penghinaan terhadap al-Our'an yang tertulis.