Bagaimana Cara dan Waktu Shalat Ketika di Luar Angkasa

Bagi mereka yang berada di ruang angkasa, apabila akan melakukan shalat atau berpuasa, maka waktu mana yang akan dipergunakan?

 

Shalatnya Astronot


PERTANYAAN


Bagi mereka yang berada di ruang angkasa, apabila akan melakukan shalat atau berpuasa, maka waktu mana yang akan dipergunakan?


JAWABAN

Apabila bisa mengetahui waktu setempat, maka harus menggunakan waktu tersebut, jika tidak maka harus dilakukan dengan ijtihad. Apabila keduanya tidak bisa dilakukan maka berpedoman pada waktu di bumi.


REFERENSI 


a. Al-Iqna', I/107:

(و) الرَّابِعُ (الْعِلْمُ بِدُخُولِ الْوَقْتِ الْمَحْدُودِ شَرْعًا، فَإِنَّ جَهْلَهُ لِعَارِضِ كَغَيْمٍ أَوْ حَبْسٍ فِي مَوْضِعٍ مُظْلِمٍ وَعَدِمَ ثِقَةً يُخْبِرُهُ عَنْ عِلْمٍ اجْتَهَدَ جَوَازًا إِنْ قَدَرَ عَلَى الْيَقِيْنِ بِالصَّبْرِ أَوْ الخُرُوجِ وَرُؤْيَةِ الشَّمْسِ مَثَلاً ، وَإِلا فَوُجُوْبًا بوردٍ مِنْ قُرْآنٍ وَدَرْسٍ وَمُطَالَعَةٍ وَصَلَاةٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ كَخِيَاطَةٍ وَصَوْتِ دِيْكٍ مُجَرَّبٍ، وَسَوَاءُ الْبَصِيرُ وَالْأَعْمَى وَعَمِلَ عَلَى الْأَغْلَبِ فِي ظَيِّهِ، وَإِنْ قَدَرَ عَلَى الْيَقِيْنِ بِالصَّبْرِ أَوْ غَيْرِهِ كَالْخُرُوجِ لِرُؤْيَةِ الْفَجْرِ، وَلِلأَعْمَى كَالْبَصِيرِ الْعَاجِزِ تَقْلِيدُ مُجْتَهِدٍ لِعَجْزِهِ فِي الْجُمْلَةِ، أَمَّا إِذَا أَخْبَرَهُ ثِقَةٌ مِنْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ وَلَوْ رَقِيقًا بِدُخُولِهِ عَنْ عِلْمٍ أَيْ مُشَاهَدَةٍ كَأَنْ قَالَ: رَأَيْتُ الْفَجْرَ طَالِعًا أَوْ الشَّفَقَ غَارِبًا فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ الْعَمَلُ بِقَوْلِهِ: إِنْ لَمْ يُمْكِنُهُ الْعِلْمُ بِنَفْسِهِ وَجَازَ إِنْ أَمْكَنَهُ، وَفِي الْقِبْلَةِ لا يَعْتَمِدُ الْمُخْبَرَ عَنْ عِلْمٍ إلا إذا تَعَدَّرَ عِلْمُهُ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِتَكَرُرِ الأَوْقَاتِ فَيَعْسُرُ الْعِلْمُ بِكُلِّ وَقْتٍ بخِلافِ الْقِبْلَةِ، فَإِنَّهُ إِذَا عَلِمَ عَيْنَهَا مَرَّةً اكْتَفَى بِهَا مَا دَامَ مُقِيِّمًا بِمَحَلِهِ فَلَا عُسْرَ، وَلَا يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يُقَدِّدَ مَنْ أَخْبَرَهُ عَنْ اجْتِهَادٍ؛ لِأَنَّ الْمُجْتَهِدَ لا يُقَلِّدُ مُجْتَهِدًا حَتَّى لَوْ أَخْبَرَهُ عَنْ اجْتِهَادٍ أَنَّ صَلَاتَهُ وَقَعَتْ قَبْلَ الْوَقْتِ لَمْ يَلْزَمُهُ إعَادَتُهَا، وَهَلْ يَجُوْزُ لِلْبَصِيرِ تَقْلِيْدُ الْمُؤَدِّنِ اليَقَةِ الْعَارِفِ أَوْلَاَ.

Syarat sahnya sholat yang nomor empat adalah: mengetahui masuknya waktu shalat yang telah ditentukan secara syara'. Apabila tidak dapat mengetahuinya karena adanya penghalang seperti mendung, berada dalam penjara, atau tidak mendapatkan orang yang dapat dipercaya untuk memberitahunya, maka boleh berijtihad Jika dia mampu untuk bisa yakin misalnya dengan bersabar hingga terang, atau keluar untuk melihat matahari. Jika tidak bisa yakin, maka wajib berijtihad dengan cara wirid dengan bacaan ayat al-Quran, belajar dan menelaah, dan sholat. Dan semacamnya semisal secercah cahaya di waktu shubuh dan suara ayam yang sudah terbiasa menjadi tanda waktunya sholat. Ini berlaku baik bagi orang yang dapat melihat maupun orang buta dan cukup dengan mengandalkan insting yang terlatih dalam menentukan masuknya waktu sholat. Meski dia mampu untuk yakin dengan cara bersabar atau yang lain seperti keluar untuk melihat fajar. Dan bagi orang yang buta (seperti halnya orang yang dapat melihat namun lemah) itu dibolehkan mengikuti (taqlid) kepada orang yang berijtihad. Hal itu disebabkan oleh kelemahan mereka secara umum. Adapun jika ada seorang laki-laki atau perempuan yang dapat dipercaya meskipun dia seorang budak, untuk memberitahu waktu masuknya shalat berdasarkan pengetahuannya yakni penglihatannya seperti dia berkata: "Aku melihat fajar telah terbit atau mega merah telah terbenam". Maka perkataan orang yang memberitahukan tersebut wajib diikuti jika dirinya tidak mampu melihat sendiri. Dan boleh (tidak wajib) untuk mengikuti perkataan orang tersebut jika dirinya mampu melihatnya sendiri.

Adapun mengenai arah kiblat, maka tidak cukup bersandar pada orang yang memberitahu sepengetahuannya tentang posisi qiblat kecuali jika dia kesulitan untuk mengetahuinya. Perbedaan antara keduanya itu sebab seringnya waktu-waktu tersebut terulang sehingga sulit untuk mengetahui masing-masing waktu tersebut, berbeda dengan arah kiblat. Saat posisi qiblat itu telah diketahui, maka hal tersebut cukup sebagai pedoman selama dia tetap bertempat tinggal ditempat tersebut sehingga tidak ada kesulitan. Dan dia tidak boleh mengikuti (taqlid) orang lain yang memberitahukan waktu sholat dari hasil ijtihad. Karena seorang mujtahid tidak boleh mengikuti mujtahid lainnya. Bahkan jika ada orang yang memberitahu dari hasil ijtihadnya bahwa shalatnya seseorang itu dilakukan sebelum masuk waktu shalat, maka dia tidak wajib mengulanginya. Dan apakah orang yang dapat melihat diperbolehkan mengikuti seorang muadzin yang dapat dipercaya dan berpengalaman atau tidak boleh?.


b. Hasyiyah Nihayah al-Muhtaj, I/369:


(تَنْبِيهُ) لَوْ عُدِمَ وَقْتُ الْعِشَاءِ كَأَنْ طَلَعَ الْفَجْرُ كَمَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَجَبَ قَضَاؤُهَا عَلَى الْأَوْجَهِ مِنْ اخْتِلَافِ فِيْهِ بَيْنَ الْمُتَأَخِرِيْنَ وَلَوْ لَمْ تَغِبْ إِلَّا بِقَدْرِ مَا بَيْنَ الْعِشَاءَيْنِ، فَأَطْلَقَ الشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ حَالُهُمْ بِأَقْرَبِ بَلَدٍ إِلَيْهِمْ، وَفَرَّعَ عَلَيْهِ الزَّرْكَشِيُّ وَابْنُ الْعِمَادِ أَنَّهُمْ يُقَدِرُوْنَ فِي الصَّوْمِ لَيْلَهُمْ بِأَقْرَبِ بَلَدٍ إِلَيْهِمْ ثُمَّ يُمْسِكُوْنَ إِلَى الْغُرُوبِ بِأَقْرَبِ بَلَدٍ إِلَيْهِمْ، وَمَا قَالاَهُ إِنَّمَا يَظْهَرُ إِنْ لَمْ تَسَعْ مُدَّهُ غَيْبُوبَتِهَا أَكْلَ مَا يُقِيمُ بِنِيَّةِ الصَّائِمِ لِتَعَدُّرِ الْعَمَلِ بِمَا عِنْدَهُمْ فَاضْطُرِرْنَا إِلَى ذَلِكَ التَّقْدِيرِ، بِخِلَافِ مَا إِذَا وَسِعَ ذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حِيْنَئِذٍ كَأَيَّامِ الدَّجَالِ لِوُجُوْدِ اللَّيْلِ هُنَا وَإِنْ قَصُرَ وَلَوْ لَمْ يَسَعُ ذَلِكَ إِلَّا قَدْرَ الْمَغْرِبِ، أَوْ أَكْلَ الصَّائِمِ قَدَّمَ أَكْلَهُ وَقَضَى الْمَغْرِبَ فِيمَا يَظْهَرُ . إه‍ حج.

(Peringatan) Jika waktu isya' telah habis. Seperti jika fajar telah terbit sebagaimana matahari terbenam, maka menurut pendapat yang lebih kuat hukumnya wajib mengqadla' shalatnya, sebab dalam hal ini terjadi perselisihan antara ulama' kontemporer (ulama' mutaakhirin). Dan bila matahari tidak terbenam kecuali hanya sebentar (kadar waktu seperti antara shalat magrib dan isya') maka syaikh Abu Hamid memutlakkan bahwa keadaan mereka harus mengikuti keadaan negara yang terdekat. Az-Zarkasyi dan ibnu 'Imad memerinci, bahwa dalam berpuasa mereka mengira-ngirakan waktu malam dengan negara yang paling dekat, lalu menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa hingga terbenamnya matahari di negara yang terdekat. Apa yang dikatakan oleh keduanya itu menjelaskan jika waktu terbenamnya matahari tidak mencukupi untuk berbuka bagi penduduk yang berniat puasa. Karena adanya udzur pada mereka, maka memaksa kami untuk melakukan perkiraan tersebut. Lain jika waktunya mencukupi. Dan dalam hal ini tidak bisa disamakan dengan Hari-hari Dajjal, karena adanya waktu malam, meski sebentar.

Dan bila waktu malam itu hanya cukup untuk salah satu dari sholat magrib atau berbuka, maka yang didahulukan ialah berbuka berpuasa, lalu menggadla' shalat maghribnya menurut qaul yang dhahir.

c. Fath al-Qarib al-Mujib pada al-Bajuri, I/127:

وَأَمَّا الْبَلَدُ الَّذِي لاَ يَغِيْبُ فِيْهِ الشَّفَقُ فَوَقْتُ الْعِشَاءِ فِي حَقِّ أَهْلِهِ أَنْ يَمْضِيَ بَعْدَ الْغُرُوبِ زَمَنُ يَغِيْبُ فِيْهِ شَفَقُ أَقْرَبِ الْبِلادِ إِلَيْهِمْ .انتهى


Adapun negara yang tidak terdapat mega merah yang terbenam, maka waktu isya' bagi penduduk negara tersebut adalah berlalunya waktu terbenamnya mega merah di negara yang terdekat setelah terbenamnya matahari di negara penduduk tersebut.

Berbagi

Posting Komentar