Komunitas JAMIL : Sebuah Upaya Menumbuhkan Literasi
Oleh: Moh. Sufriadi
Hari itu, Senin 06 Juli 2020, cuaca begitu mendung. Bahkan sesekali gerimis datang membasahi tanah Al-Miftah. Namun tekad yang kokoh jelas tidak akan hancur hanya karena beberapa rintik air hujan. Oleh karena itu, sekitar jam 9 pagi, kegiatan pelatihan menulis itu tetap dilangsungkan. Kegiatan yang bertajuk “Cangkuran Literasi” itu diikuti 20 peserta. Mereka berasal dari jenjang pendidikan yang berbeda. Ada yang dari jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs), pun dari jenjang Madrasah ‘Aliyah (MA).
Pemateri kala itu adalah teman saya. Fauzan Nur Ilahi, namanya. Atau yang lebih akrab dengan sapaan Bung Ojan. Di samping itu, Gus Ali Maksum juga ikut menambah hangat suasana. Beliau berpartisipasi dengan sharing pengalaman serta memberikan beberapa wejangan. Hal ini akhirnya juga menambah syahdu dan lancarnya kegiatan pelatihan penulisan. Tentu masih diringi dengan rintik hujan yang tak kunjung mereda.
Melihat fenomena seperti ini, saya, sebagai salah satu alumni Al-Miftah yang lulus sekitar 4 tahun lalu (2016), muncul semacam perasaan bangga dan haru karena merasa bahwa minat siswa/i terhadap literasi semakin berkembang dibandingkan dengan zaman saya dahulu. Setidaknya, hal ini saya lihat dari i’tikad baik siswa untuk mengikuti pelatihan ini dan tangga baca (fasilitas membaca) yang telah tersedia ddidindin. Tentu hal ini menjadi angin segar bagi kita – segenap orang yang ingin melihat Al-Miftah semakin menuju ke arah perbaikan.
Latar Belakang Lahirnya JAMIL
Mula-mula, kegiatan ini sejatinya diinisiasi oleh Gus Ali Maksum sebagai ikhtiar beliau untuk mengembangkan budaya literasi di Al-Miftah yang memang telah menjadi cita-cita awalnya, bahkan sewaktu beliau masih berada di bangku perguruan tinggi. Namun karena munculnya satu dua kendala, maka cita-cita tersebut (sesuai dengan penuturan Gus Ali Maksum di kegiatan tersebut) disimpan terlebih dahulu untuk kembali dieksekusi di hari-hari mendatang. Kemudian sampailah pada hari itu, di mana pelatihan penulisan akhirnya berhasil dilangsungkan dan alhamdulillah juga melahirkan suatu komunitas literasi bernama “Jong Al-Miftah Intelektual Literasi” disingkat JAMIL.
Komunitas JAMIL sebetulnya (berdasarkan pada pengalaman saya semasa di pesantren) bukan istilah baru di Al-Miftah. Dahulu, bersama sahabat-sahabat di pondok, saya juga sempat menjadi penggerak di komunitas bernama JAMIL. Hanya saja, JAMIL yang ini tidak fokus pada kegiatan tulis menulis, melainkan hanya kepada kegiatan membaca, bahasa, dan diskusi. Oleh karena itu, JAMIL yang saya dulu tekuni bersama teman-teman yang lain memiliki kepanjangan sebagai berikut: Jong Al-Miftah Intelektual Language.
Dengan harapan mencoba tidak menghilangkan tradisi keilmuan serta memelihara tradisi yang baik, maka saya usul kepada forum setelah kegiatan penulisan berakhir supaya jika hendak membentuk suatu komunitas literasi, nama JAMIL bisa menjadi salah satu opsi yang menarik. Dan betul saja, Gus Ali Maksum serta para peserta menyetujuinya dengan catatan kata “Language” diganti menjadi “Literasi”. Dalam konteks seperti inilah Jong Al-Miftah Intelektual Literasi atau “JAMIL part II” itu lahir.
Sebuah Ikhtiar dan Sebuah Mimpi
Pelatihan penulisan di hari itu ternyata tidak hanya menjadi pemberian materi semata. Tetapi lebih jauh, selain melahirkan suatu komunitas lengkap dengan struktur kepengurusannya, kegiatan tersebut juga melahirkan tiga program yang menurut saya wajib dirawat ke depan. Ketiga program tersebut adalah: (1) Program membaca bersama; (2) Program mendiskusikan hasil bacaan bersama, dan; (3) Menulis serta menyetorkan apa yang telah dibaca dan didiskusikan secara bersama. Tiga program ini merupakan upaya JAMIL untuk menumbuh kembangkan budaya literasi di Al-Miftah.
Di masa yang akan datang, sudah barang tentu JAMIL akan menghadapi berbagai tantangan. Ini adalah tugas kita sebagai orang yang peduli terhadap masa depan Al-Miftah untuk sama-sama menjaga dan merawat apa-apa yang sekiranya menjadi kebaikan bagi Al-Miftah. Salah satunya komunitas JAMIL ini. Saya merasa, kita sudah cukup tertinggal untuk urusan literasi dari beberapa pondok pesantren besar lainnya. Ini kita harus akui.
Tetapi hal ini jelas bukan menjadi alasan kita untuk berpasrah diri. Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi kita untuk dapat berlari dan mengejar ketertinggalan. Lebih-lebih di bidang literasi. Sebab bagaimanapun, sudah menjadi fakta sejarah bahwa, budaya literasi adalah faktor dari segala hal. Saya rasa mustahil bagi kita untuk mengharap kemajuan jika tidak diimbangi dengan upaya membangun budaya literasi yang mapan.
Oleh karenanya, saya menganggap dibentuknya beberapa program serta berbagai upaya untuk menjaga dan merawat hal itu merupakan bentuk ikhtiar atau perjuangan kita demi masa depan Al-Miftah. Tentu saya yakin bahwa kita sama-sama merindukan masa dimana siswa/i atau santri/i memiliki daya literasi yang tinggi, persis yang diimpi-impikan Gus Ali Maksum tadi. Memang hal ini tidak bisa dicapai dalam waktu yang singkat, semisal 5-7 tahun saja. Butuh waktu yang lebih lama daripada itu. Sebab yang hendak kita bangun adalah budaya, suatu kebiasaan baru yang di mana siswa/i masih belum terbiasa dengannya. Maka tidak mungkin dicapai hanya dengan secepat kilat.
Tetapi lagi-lagi, meningkatkan budaya literasi bukan suatu hal yang tidak mungkin. Dan karena itu kita harus terus menerus mengupayakannya. Sebab saya percaya, budaya literasi adalah modal dari segala hal. Kemerdekaan Republik ini adalah bukti. Melawan kolonialisme Belanda tentu tidak akan mampu hanya dengan moncong senjata atau bambu runcing. Jika membaca sejarah kita akan tahu bahwa faktor kuat lainnya juga ditopang oleh budaya literasi para pahlawan kita yang semakin tinggi. Mereka adalah pembaca yang tekun, pemikir yang tajam, dan penulis yang rajin. Maka tidak salah jika ada anggapan bahwa setiap kemajuan harus dimulai dari pendidikan, khususnya budaya literasi.