Kiai Thoifur Ali Wafa : Sosok Pribadi Alim, Warak, Shaleh, dan Berparas tampan


         almiftah.id | Sabtu, 14 Maret 2020

Kiai Thoifur Ali Wafa sosok pribadi yang masyhur dikalangan masyarakat madura utamanya. Kiai Thoifur dilahirkan di daerah  kampong jungtorok laok desa Ambunten timur, Ambunten sumenep Madura.  pada hari Selasa menjelang subuh tanggal 22 sya'ban 1384 H atau bertepatan pada bulan Januari 1965 M.

Ibunya bernama nyai Mutmainah .ayah beliau adalah Kiai Ali Wafa seorang tokoh yang terkenal masyarakat luas  sebagai perintis pondok pesantren ahlussunah Waljamaah .

Kiai Thoifur Ali Wafa memang lahir dalam kekeluarga yang sangat mencintai ilmu .

Kiai Thoifur Ali Wafa,  adalah seorang Alim Produktif yang sampai sekarang berhasil menulis lebih dari 40 karya kitab berbahasa Arab. Beliau bahkan sudah mulai mengarang kitab sebelum menginjak usia baligh, kala itu beliau menadhomkan kitab Jurumiah meski belum sempat menyelesaikannya.

Ketika menginjak usia remaja, Kiai Thoifur  pergi ke Demangan Bangkalan untuk mencari ilmu kepada seorang kiai masyhur, KH. Abdullah Schal. Kiai Abdullah adalah cicit Syaichona Kholil Bangkalan. Di pondok Syaichona Kholil itu Kiai Thoifur belajar berbagai kitab. 

Di kemudian hari Kiai Abdullah mengambil Kiai Thoifur sebagai menantunya

Beberapa tahun belakangan, publik mengenalnya melalui karangannya yang sangat banyak dalam berbagai bidang ilmu keislaman

Kecintaannya terhadap ilmu memang sudah tampak sejak kecil. Berbagai macam tirakat untuk melancarkan proses ilmiah sudah dilakukan sejak belia.

Sebelum pergi ke Mekkah , Kiai Thoifur melanjutkan pengembaraannya di berbagai pondok di tanah Jawa, di antaranya Lasem Rembang dan Batokan Kediri. Di pondok terakhir ini beliau mengaji kepada Mbah Kiai Jamal pengasuh Batokan kala itu.

Setelah itu Kiai Thoifur Ali Wafa melanjutkan rihlah ilmiahnya menuju kota suci Mekkah. 

Di Mekkah Kiai Thoifur berguru kepada guru-guru  ternama.

 Di antara para masyayikh yang beliau serap ilmunya adalah Syekh Abdullah bin Ahmad Dardum,Syekh Ismail Zain, Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dan  Syekh Yasin alfadani. 

 Kiai Thoifur banyak mengambil ilmu nahwu kepada Syekh Abdullah Dardum yang dikenal sebagai Sibawaihi ashrih, Sibawaih masa itu di hijaz .

Setelah lama mencari ilmu di Mekkah, Kiai Thoifur Ali Wafa tumbuh  menjadi ulama yang masyhur yang menjadi rujukan masyarakat  dari berbagai daerah.

Kiai Thoifur Ali Wafa  dalam pengalaman nya  menuntut ilmu, bagaimana beliau sempat kehilangan semangat untuk mondok setelah ditinggal wafat ayahnya, bagaimana beliau berjalan menempuh jarak 6 km tiap harinya ketika mengaji kepada Syaikh Ismail Zain dan Syaikh Abdullah Dardum di tanah suci Mekkah,

Kh. Thoifur adalah salah satu murid kesayangan Syaikh Ismail Zain, beliau bahkan pernah dipercaya menjadi skretaris pribadi Syaikh Ismail selama bertahun-tahun. Saking Sayangnya Syaikh Ismail pada Kiai Thoifur, Beliau seringkali berpesan kepada muridnya itu : 

" aku ingin engkau disini bersamaku sampai aku mati.. " 

Puncaknya adalah ketika suatu hari Ibunda Kiai Thoifur memintanya untuk pulang dan mengurus pesantren di rumahnya. Kiai Thoifur berada ditengah gelombang dilema yang sangat besar. Disatu sisi Sang guru yang sangat ia hormati keberatan jika ia pulang ke tanah air, di sisi lain sang ibunda yang tinggal sendiri di rumahnya memintanya untuk pulang, ibunya bahkan jauh-jauh datang ke Mekkah dengan tujuan memintakan izin untuk anaknya kepada Syaikh Ismail. 

Akhirnya Syaikh Ismail tak bisa menolak, pagi hari dimana Kiai Thoifur akan kembali ke tanah air, Syaikh Ismail memanggil Kiai Thoifur. Mata Syaikh Ismail terlihat merah, beliau lantas berkata kepada sang murid yang duduk menunduk dihadapannya : 

" Wahai anakku, tadi malam aku tidak bisa tidur karena memikirkan kepulanganmu. Mengapa kau ingin pulang ? Apa ada yang kurang dari diriku ? Engkau tinggal disini lebih baik daripada engkau tinggal di rumahmu..disini ada Zamzam, Masjidil Haram dan Ka'bah. Anakku.. Jika engkau pulang untuk mengajar para pelajar di rumahmu, bukankah disini engkau juga mengajar murid-murid ? Ayahmu telah meninggal, maka akulah ayahmu, akulah orang tuamu.. " 

Mendengar itu Kiai Thoifur tak bisa menahan air matanya, ia tak henti-hentinya menangis. Bahkan di pagi itu, diperjalanan menuju rumahnya di Misfalah, beliau masih saja menangis ketika membeli sesuatu di sebuah toko. Tentu saja penjaga toko heran melihat ada orang beli sambil nangis-nangis. 

Syaikh Ismail akhirnya memberi restu untuk kepulangan Kiai Thoifur, dalam kertas Ijazah yang beliau berikan, Syaikh Ismail menulis : 

" Amma Ba'du. Sesungguhnya anakku, muridku, orang dekatku, Al-Ustadz Al-Allamah Thoifur Bin Syaikh Ali Wafa telah belajar kepadaku dalam waktu yang lama. Dia adalah seorang yang tulus dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Dia adalah "keajaiban" diantara teman-temannya dengan indahnya akhlak dan budi pekertinya... " 

Kiai Thoifur memang bagaikan mutiara langka, jarang sekali ada ulama nusantara di zaman ini yang bisa seproduktif beliau, memiliki puluhan karangan dalam berbagai fan ilmu. Beliau -mungkin- adalah segelintir dari ulama Indonesia yang memiliki karangan Alfiah. Beliau memiliki karangan seribu nadhom dalam bidang Tarikh yang beliau namakan Alfiah Ibnu Ali Wafa. 

Beliau juga mempunyai karangan kitab Al-Misan Al-lashif Syarah dari Al-Matnu Assyarif. Kitab Matan Fiqih karya Syaikhona Kholil Bangkalan yang hanya beberapa lembar itu berhasil beliau Syarahi lebih dari seribu Halaman. ! Hebatnya lagi, Taqridhz(kata pengantar) kitab itu beliau dapatkan langsung dari saikhona Kholil Bangkalan dalam sebuah mimpi.. ! 
   
Juga mempunyai karangan Firdaus An-Naim" , kitab tafsir karya beliau yang dicetak sebanyak 6 jilid itu.  

Kiai Thaifur menunjukkan kepada kita, bahwa dengan kemauan tinggi dan perjuangan tanpa henti, siapapun bisa menulis dan berkarya. Bahwa dalam menulis kitab-kitab dengan kualitas tinggi.

 Semoga hikayah yang diatas menjadi rujukan keteladanan bagi kita semua dan  kelak masih banyak yang akan mengikuti jejak-luhur dan tindak-lampah beliau..



أطال الله عمره و بقاءه و متعنا بعلومه في الدارين آمين ..

*Dari berbagai sumber

Mahalli Sulaiman kurdi

   Pamekasan 29 Januari 2020
Kiai Thoifur dilahirkan di daerah  kampong jungtorok laok desa Ambunten timur, Ambunten sumenep Madura.  pada hari Selasa menjelang subuh tanggal 22 sya'ban 1384 H atau bertepatan pada bulan Januari 1965 M.

Ibunya bernama nyai Mutmainah .ayah beliau adalah Kiai Ali Wafa seorang tokoh yang terkenal masyarakat luas  sebagai perintis pondok pesantren ahlussunah Waljamaah .

Kiai Thoifur Ali Wafa memang lahir dalam kekeluarga yang sangat mencintai ilmu .

Kiai Thoifur Ali Wafa,  adalah seorang Alim Produktif yang sampai sekarang berhasil menulis lebih dari 40 karya kitab berbahasa Arab. Beliau bahkan sudah mulai mengarang kitab sebelum menginjak usia baligh, kala itu beliau menadhomkan kitab Jurumiah meski belum sempat menyelesaikannya.

Ketika menginjak usia remaja, Kiai Thoifur  pergi ke Demangan Bangkalan untuk mencari ilmu kepada seorang kiai masyhur, KH. Abdullah Schal. Kiai Abdullah adalah cicit Syaichona Kholil Bangkalan. Di pondok Syaichona Kholil itu Kiai Thoifur belajar berbagai kitab. 

Di kemudian hari Kiai Abdullah mengambil Kiai Thoifur sebagai menantunya

Beberapa tahun belakangan, publik mengenalnya melalui karangannya yang sangat banyak dalam berbagai bidang ilmu keislaman

Kecintaannya terhadap ilmu memang sudah tampak sejak kecil. Berbagai macam tirakat untuk melancarkan proses ilmiah sudah dilakukan sejak belia.

Sebelum pergi ke Mekkah , Kiai Thoifur melanjutkan pengembaraannya di berbagai pondok di tanah Jawa, di antaranya Lasem Rembang dan Batokan Kediri. Di pondok terakhir ini beliau mengaji kepada Mbah Kiai Jamal pengasuh Batokan kala itu.

Setelah itu Kiai Thoifur Ali Wafa melanjutkan rihlah ilmiahnya menuju kota suci Mekkah. 

Di Mekkah Kiai Thoifur berguru kepada guru-guru  ternama.

 Di antara para masyayikh yang beliau serap ilmunya adalah Syekh Abdullah bin Ahmad Dardum,Syekh Ismail Zain, Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dan  Syekh Yasin alfadani. 

 Kiai Thoifur banyak mengambil ilmu nahwu kepada Syekh Abdullah Dardum yang dikenal sebagai Sibawaihi ashrih, Sibawaih masa itu di hijaz .

Setelah lama mencari ilmu di Mekkah, Kiai Thoifur Ali Wafa tumbuh  menjadi ulama yang masyhur yang menjadi rujukan masyarakat  dari berbagai daerah.

Kiai Thoifur Ali Wafa  dalam pengalaman nya  menuntut ilmu, bagaimana beliau sempat kehilangan semangat untuk mondok setelah ditinggal wafat ayahnya, bagaimana beliau berjalan menempuh jarak 6 km tiap harinya ketika mengaji kepada Syaikh Ismail Zain dan Syaikh Abdullah Dardum di tanah suci Mekkah,

Kh. Thoifur adalah salah satu murid kesayangan Syaikh Ismail Zain, beliau bahkan pernah dipercaya menjadi skretaris pribadi Syaikh Ismail selama bertahun-tahun. Saking Sayangnya Syaikh Ismail pada Kiai Thoifur, Beliau seringkali berpesan kepada muridnya itu : 

" aku ingin engkau disini bersamaku sampai aku mati.. " 

Puncaknya adalah ketika suatu hari Ibunda Kiai Thoifur memintanya untuk pulang dan mengurus pesantren di rumahnya. Kiai Thoifur berada ditengah gelombang dilema yang sangat besar. Disatu sisi Sang guru yang sangat ia hormati keberatan jika ia pulang ke tanah air, di sisi lain sang ibunda yang tinggal sendiri di rumahnya memintanya untuk pulang, ibunya bahkan jauh-jauh datang ke Mekkah dengan tujuan memintakan izin untuk anaknya kepada Syaikh Ismail. 

Akhirnya Syaikh Ismail tak bisa menolak, pagi hari dimana Kiai Thoifur akan kembali ke tanah air, Syaikh Ismail memanggil Kiai Thoifur. Mata Syaikh Ismail terlihat merah, beliau lantas berkata kepada sang murid yang duduk menunduk dihadapannya : 

" Wahai anakku, tadi malam aku tidak bisa tidur karena memikirkan kepulanganmu. Mengapa kau ingin pulang ? Apa ada yang kurang dari diriku ? Engkau tinggal disini lebih baik daripada engkau tinggal di rumahmu..disini ada Zamzam, Masjidil Haram dan Ka'bah. Anakku.. Jika engkau pulang untuk mengajar para pelajar di rumahmu, bukankah disini engkau juga mengajar murid-murid ? Ayahmu telah meninggal, maka akulah ayahmu, akulah orang tuamu.. " 

Mendengar itu Kiai Thoifur tak bisa menahan air matanya, ia tak henti-hentinya menangis. Bahkan di pagi itu, diperjalanan menuju rumahnya di Misfalah, beliau masih saja menangis ketika membeli sesuatu di sebuah toko. Tentu saja penjaga toko heran melihat ada orang beli sambil nangis-nangis. 

Syaikh Ismail akhirnya memberi restu untuk kepulangan Kiai Thoifur, dalam kertas Ijazah yang beliau berikan, Syaikh Ismail menulis : 

" Amma Ba'du. Sesungguhnya anakku, muridku, orang dekatku, Al-Ustadz Al-Allamah Thoifur Bin Syaikh Ali Wafa telah belajar kepadaku dalam waktu yang lama. Dia adalah seorang yang tulus dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Dia adalah "keajaiban" diantara teman-temannya dengan indahnya akhlak dan budi pekertinya... " 

Kiai Thoifur memang bagaikan mutiara langka, jarang sekali ada ulama nusantara di zaman ini yang bisa seproduktif beliau, memiliki puluhan karangan dalam berbagai fan ilmu. Beliau -mungkin- adalah segelintir dari ulama Indonesia yang memiliki karangan Alfiah. Beliau memiliki karangan seribu nadhom dalam bidang Tarikh yang beliau namakan Alfiah Ibnu Ali Wafa. 

Beliau juga mempunyai karangan kitab Al-Misan Al-lashif Syarah dari Al-Matnu Assyarif. Kitab Matan Fiqih karya Syaikhona Kholil Bangkalan yang hanya beberapa lembar itu berhasil beliau Syarahi lebih dari seribu Halaman. ! Hebatnya lagi, Taqridhz(kata pengantar) kitab itu beliau dapatkan langsung dari saikhona Kholil Bangkalan dalam sebuah mimpi.. ! 
   
Juga mempunyai karangan Firdaus An-Naim" , kitab tafsir karya beliau yang dicetak sebanyak 6 jilid itu.  

Kiai Thaifur menunjukkan kepada kita, bahwa dengan kemauan tinggi dan perjuangan tanpa henti, siapapun bisa menulis dan berkarya. Bahwa dalam menulis kitab-kitab dengan kualitas tinggi.

 Semoga hikayah yang diatas menjadi rujukan keteladanan bagi kita semua dan  kelak masih banyak yang akan mengikuti jejak-luhur dan tindak-lampah beliau..



أطال الله عمره و بقاءه و متعنا بعلومه في الدارين آمين ..

*Referensi Dari berbagai sumber

Mahalli Sulaiman kurdi

Pamekasan 29 Januari 2020

Berbagi

Posting Komentar