Seiring habisnya bulan Ramadhan dan mulainya bergulir bulan Syawwal mulai waktu maghrib tanggal satu, bukan berarti semangat ibadah menjadi kendur, namun seharusnya justru semakin meningkat sebagai manifestasi ketakwaan kepada Allah Ta’ala.
Salah satu wujud ketakwaan sesudah bulan Ramadhan adalah menghidupkan malam Idul Fitri dengan gema takbir dan ibadah lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلهِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ. (رواه الشافعي وابن ماجه)
Artinya, “Siapa saja yang qiyamul lail pada dua malam Id (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah demi mengharap ridha-Nya, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati,” (HR As-Syafi’i dan Ibn Majah).
Dari sisi riwayat, hadits keutamaan menghidupkan malam hari raya ini memang dhaif, namun demikian menurut para ulama hadits tersebut masih termasuk dalam kategori dapat diamalkan karena berkaitan dengan keutamaan ibadah. (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 145).
Sementara dari sisi dirayah, maksud ‘hati tidak akan mati’ dalam hadits ini adalah hati tidak akan mengalami kebingungan di saat banyak orang mengalaminya, yaitu pada saat sakaratul maut, saat ditanya oleh dua malaikat (di alam barzakh), dan ketika hari kiamat. Dalam hal ini pakar fikih Maliki asal Mesir, Syekh Ahmad As-Shawi (wafat 1825 M/1241 H) menjelaskan:
وَمَعْنَى عَدَمِ مَوْتِ قَلْبِهِ عَدَمُ تَحَيُّرِهِ عِنْدَ النَّزَعِ وَعِنْدَ سُؤَالِ الْمَلَكَيْنِ وَفِي الْقِيَامَةِ. بَلْ يَكُونُ مُطْمَئِنًّا ثَابِتًا فِي تِلْكَ الْمَوَاضِعِ.
Artinya, “Makna ‘tidak mati hati orang yang menghidupkan malam hari raya’ adalah tidak bingung hatinya ketika naza’ (sakaratul maut), ketika ditanya oleh dua malaikat (di alam barzakh), dan di hari kiamat. Bahkan hatinya tenang penuh keteguhan pada momen-momen tersebut,” (Lihat Ahmad As-Shawi, Bulghatus Salik li Arqabil Masalik, [Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1995 M/1415 H], juz I, halaman 345-346).
Telah maklum pula, hari raya merupakan hari suka cita dan bergembira sehingga kadang tidak terasa terselip sendau gurau yang kurang berguna. Karena itu, menurut Sayyid Ali Al-Khawash (wafat 949 H) sufi asal Kairo, guru Syekh Abdul Wahab As-Sya’rani, hikmah dari menghidupkan malam hari raya adalah nur ibadah pelakunya dapat memancar sepanjang hari dan terhindar dari kelalaian akibat begitu bahagianya di hari tersebut.
Lain halnya orang yang menghabiskan malam hari raya untuk tidur semalam suntuk atau melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat lalai dari Tuhannya, maka ia akan terjerumus dalam kelalaian di sepanjang hari. (Lihat Abdul Wahhab As-Sya’ani, Lawaqihul Anwar Al-Qudsiyyah, halaman 92).
Lalu bagaimana orang dapat dikatakan memperoleh keutamaan menghidupkan malam hari raya? Berkaitan hal ini ulama berbeda pendapat:
Pendapat pertama (as-shahih) menyatakan dengan menggunakan mayoritas waktu malam hari raya untuk beribadah.
Pendapat kedua mengatakan cukup beribadah sesaat saja dari malam hari raya. Ini diperkuat dengan keterangan dari Imam As-Syafi’i yang mengisahkan bahwa ketika malam hari raya Idul Fitri dan Idul Adha para masyayikh kota Madinah datang ke masjid, berdoa, dan berzikir sampai lewat beberapa saat saja waktu malam tersebut.
Sedangkan pendapat ketiga sebagaimana dikutip oleh Al-Qadhi Husain dari Ibn Abbas RA mengatakan, keutamaan menghidupkan malam hari raya diperoleh dengan shalat Isya’ secara berjamaah dan bertekan untuk melakukan shalat subuh di pagi harinya secara berjamaah pula. (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad, tanpa catatan tahun], juz V, halaman 145).
Walhasil, mari kita menghidupkan malam hari raya Idul Fitri dengan berbagai ibadah, takbir, zikir, doa, shalat-shalat sunah dan ibadah lainnya agar diberi keteguhan hati di dalam momen-momen terpenting dalam fase kehidupan serta mendapatkan ridha-Nya. Wallahu a‘lam